SUTANTO MENDUT TERIMA GELAR DARI SENIMAN KOMUNITAS LIMA GUNUNG

Para seniman Komunitas Lima Gunung sedang melakukan prosesi penganugerahan gelar bagi Sutanto di Windusabrang Kec. Wonolelo Magelang, Minggu Pahing (27/12/2020).(foto: bagus priyana)
Suasana hening cukup lama, tak ada yang berbicara satupun. Semua menunggu Sutanto, mantan Presiden Komunitas Lima Gunung (KLG), untuk berbicara.
Ia seperti patung membisu dengan topi lapangan di kepalanya. Bendera merah putih yang terpasang di sebuah tiang pun turut diam tak bergerak.
Kacamata yang dikenakannya seolah mampu menutupi suasana batinnya. Tak seperti biasanya bagi lelaki yang suka berbicara ceplas-ceplos ini. Semua yang hadirpun tertegun menunggu.
Iya, Sutanto Mendut, demikian sapaan akrabnya, masih duduk terdiam seperti tak mampu berkata-kata. Ia duduk di atas kursi bambu setinggi 3 meter dihadapan sekitar 20 orang pegiat kesenian dari Komunitas Lima Gunung (KLG) yang baru saja menyematkan ‘gelar’ kepadanya, Minggu Pahing (27/12/2020) yang bertempat di Windusabrang Desa Wonolelo Kec. Sawangan.
Tak ingin semuanya menjadi diam membisu, Sitras Anjilin dari Padepokan Cipto Budoyo Dusun Tutup Ngisor Kec. Dukun di lereng Merapi, menembangkan sebuah tembang Jawa. Alunan suaranya mampu mencairkan suasana keheningan di pagi itu. Lelaki berusia lebih dari setengah abad ini rupanya tau apa yang harus dilakukannya.
Handoko dari Warangan Kec. Pakis di Gunung Merbabu berupaya memberi warna lantunan tembang Jawa itu dengan ketukan batu kerikil di tangannya.

Para seniman Komunitas Lima Gunung sedang melakukan prosesi penganugerahan gelar bagi Sutanto di Windusabrang Kec. Wonolelo Magelang, Minggu Pahing (27/12/2020).(foto: bagus priyana)
Sutanto seperti kehilangan ‘suaranya’ usai dilangsungkan pemberian gelar kepadanya. Struktur batu bersejarah Windusabrang abad 9-10 yang baru diketemukan beberapa bulan lalu, seperti menjadi saksi sejarah bagi Sutanto sendiri dan Komunitas Lima Gunung.
Sitras Anjilin menyampaikan jika Sutanto ‘mandhita’ dari Presiden Komunitas Lima Gunung dan para seniman dari KLG bersepakat untuk memberi gelar kepada Sutanto dengan sebutan ‘ki ageng’.
“Gelar ‘ki ageng’ ini artinya menandakan yang punya wilayah kebudayaan yang merdeka,” tegas Sitras.
Sitras pun memberinya gelar Ki Ageng Panuntun Gending. Gelar itu bukan tanpa alasan.
“Bagi saya, Sutanto adalah guru saya, bapak saya, yang menuntun saya pada keselarasan hidup, keseimbangan hidup dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan,” imbuh Sitras.
Sedangkan Riyadi dari Gejayan Pakis di bawah Gunung Merbabu menjulukinya Ki Ageng Tejo Wukir, Supadi dari Gunung Andong menggelarinya Ki Ageng Cokrojiwo. Haris Kertoraharjo, seniman dari Sanggar Matematika Kota Magelang memberinya gelar Ki Ageng Matematika Gunung.
Sedangkan Ipang dari Wonolelo Kec. Bandongan di kaki Gunung Sumbing menjuluki Ki Ageng Panuntun Jiwo dan Handoko memberinya gelar Ki Ageng Syaiquna.
Susilo Anggoro dari Mantyasih Kota Magelang menjulukinya Ki Ageng Betet Sewu. Bahkan pewarta dari Antara yang sering memberitakan acara dari komunitas tersebut, Hari Atmoko, menjulukinya Ki Ageng Kalis Waseso.
“Ternyata kehidupan Sutanto tidak jauh-jauh dari dunia jurnalistik yang kini menjadi jalan hidup saya. Saya banyak belajar menyerap inspirasi dari segala yang disampaikan oleh Pak Tanto, baik sebagai pribadi, komunitas dan kepada publik yang lebih luas yang memperkaya kehidupan jurnalistik saya,” ungkap Hari.
Pemberian gelar itu bukanlah tanpa sebab. Para pegiat di KLG merasa bahwa kiprah Sutanto bagi mereka teramatlah penting. Teramat penting bagi kemajuan kebudayaan khususnya kesenian rakyat yang hidup dan tumbuh di kawasan 5 gunung yang mengelilingi wilayah Magelang yaitu Sumbing, Menoreh, Merapi, Merbabu dan Andong beberapa puluh tahun belakangan ini.
Iya, melalui Festival Lima Gunung (FLG) yang selalu rutin digelar bergantian di kawasan itulah yang menjadi bagian penting dari komunitas ini.
Dengan gelaran itu, para pegiat kesenian ini mampu berkembang dan dikenal hingga ke penjuru bumi.
“Sutanto bagai mata elang di angkasa. Mata batinnya seakan-akan seperti cupu manik astagina yang bisa menerawang apa saja untuk alam semesta, untuk alam kehidupan saya dan untuk langkah menuju masa depan saya,” tutur Supadi.
Sebelum pemberian gelar itu, sebuah prosesipun digelar. Ismanto si perupa patung didapuk untuk membawa dupa yang ditancapkan di batang dahan daun pisang, Riyadi membawa bunga mawar melati dan Irul sang pengrajin topeng kayu dari Bandongan membawa anglo kecil dengan asap membumbung yang makin terasa suasana sakralnya.
Suara mendayu-dayu dari suling Sujono dari Keron Kec. Sawangan makin menambah magisnya acara itu.
Yang menarik, beberapa wanita penggali pasir di tempat itu, menghentikan sejenak aktivitasnya untuk ‘menikmati’ sajian khusus dari para seniman.
Di tempat yang sama, Haris Kertoraharjo, pun tak lupa membacakan puisi matematika terbarunya yang khusus dipersembahkan untuk Sutanto berjudul ‘Spektrum Matematika Tanto Mendut. Haris mengumpamakan sahabatnya itu dengan ‘rebung’, iya rebung bambu.
“Waktu berjalan seiring napas kita,
Kata mengolah kata,
Melekat dalam hembusan suara,
Kadang suara tertawa pada kata,
Gerakan jarinya hanya kiasan.
Seiring perjalanan yang tak kenal lelah,
Meluruskan keadaan ,
Melengkungkan situasi,
Membelokan imajinasi,
Serta merangkum kesimpulan.
Kebebasan berpikir,
Membenarkan yang tersangkut,
Melihat kesalahan,
Agar ada keragaman pandangannya,
Bagai kecerdasan spiritual.
Apa itu seni,
Apa itu kebudayaan,
Semua itu tai.. oh maaf,
Desa yaa desa,
Gunung yaa gunung.
Pohon bambu saling merapat,
Daun bambu bersuara sunyi,
Tersembunyi akar bambu seperti dirinya,
Dirinya bagai rebung akar bambu,
Oh.. guruku Tanto Mendut,
Rebung yang selalu bangkit,
Rebung gunung menyatukan gunung,
Hidup rebung Tanto Mendut”
Setelah dari Windusabrang, rombonganpun langsung menuju ke Padepokan Cipto Budoyo milik Sitras Anjilin di Dusun Tutup Ngisor.
Sesampai di tempat itu, langsung diadakan ritual di makam Romo Yoso yang ada di belakang pendopo, perform dari dari Sitras Anjilin, selametan pemberian gelar untuk Sutanto, doa dari sesepuh dan pemaparan gelar dari masing-masing tokoh KLG.
(bgs)