Benarkah Warga Tionghoa punya Andil dalam Melestarikan Budaya Jawa di Magelang?
Magelang (wartamagelang.com) – Sebenarnya kebudayaan Jawa bukan hanya menjadi milik orang Jawa saja, tetapi juga menjadi milik masyarakat yang lain. Catatan sejarah sudah membuktikan bahwa masyarakat Tionghoa juga memiliki kepedulian yang nyata dalam upaya pelestarian budaya Jawa.
Dalam sejarah Wayang Wong amatir, tercatat beberapa perkumpulan terkenal yang digerakkan dan didukung pemain-pemain keturunan Tionghoa. Misalnya, pada 1960-an, di Semarang ada perkumpulan Sunu Budaya (pimpinan Tjoa Kok Tie) dan Mekar Terate (pimpinan Tan Tiong Sien).
Di Solo ada Dharma Budaya (pimpinan Nyoo Ping Bie) dan PMS (pimpinan Tan Ping Kwan), di Surabaya ada Perbusa (pimpinan Oei Tiang Sing) dan di Malang ada Ang Hien Hoo (pimpinan Liem Ting Tjwan).
Sebagai tambahan kontribusi warga Tionghoa pada kesenian tari dan hiburan di Indonesia adakah Teguh pendiri ‘Srimulat’ yang nama aslinya Kho Tjien Tiong yang memimpin grup lawak Srimulat era 1957-1985. Begitu juga Didik Nini Thowok yang memiliki nama Tionghoa Kwee Tjoen Lian.
Sebagaimana yang terjadi di Magelang, justru kebudayaan Jawa misalnya wayang orang di era tahun 1960-an, para pegiat, pelaku dan pemeran di wayang orang, diperankan oleh warga Tionghoa.
Para pemerannya di antaranya ada Lie Boen Fie, Tan Kian Hwa, Liem Giok Kiat, Njoo Ping Joe, Ninuk Suprapto, Eddy Sadeli, Tutik Soedjoko, dll.
Lie Boen Fie barangkali tidak pernah bermimpi menjadi tokoh antagonis yaitu Burisrowo. Beradu peran dengan Tan Kian Hwa sebagai Worosembodro dan Ninuk Suprapto dari Jogja sebagai Srikandi.
Janoko sebagai tokoh protagonis diperankan oleh Tjong Djien Mei dari Magelang. Betari Durga oleh Setio Rahayu. Belum lagi ada Njoo Ping Joe (Gatotkaca), Oh Tiong Hoen (Jurumeo).
Tak hanya itu, dunia tari menaripun ikut ‘diterjuni’ demi upaya pelestarian. Bahkan mereka membuat pelatihan-pelatihan untuk masyarakat umum.
Paulus Santosa, warga Tionghoa yang dulu tinggal di Pecinan menuturkan jika yang aktif dalam kebudayaan Jawa, khususnya tarian Jawa adalah Oh Wie Soen pemilik toko Luna (artinya Bulan) – toko alat sport dan musik yang kemudian menjadi Toko Lunas di selatan Bioskop Kresna.
“Oh Wie Soen memiliki 2 anaknya, putra dan putri. Yang putra (sulung) adalah Oh Tiong Hoen (badannya agak kecil) panggilannya Nino yang biasanya menari sebagai Janoko tetapi dalam pagelaran diatas dia berperan menjadi Jurumeo. Sedang adiknya adalah Jenny Oh Bok Lan (badannya besar) yang menari Tari Kelono Topeng di Purworejo,” ungkap Paulus Santosa.
Nino kemudian menikah dan melanjutkan usaha toko alat musik dan olah raga Lunas. Sedang Jenny kemudian menjadi dokter gigi lulusan Airlangga Surabaya.
Oh Wie Soen dalam menggiatkan kesenian tari Jawa (Serimpi, Bondan dll) dengan membuka kursus tari Jawa dirumahnya yang terletak di Jl Bayeman 4.
Banyak putra putri dari Pecinan yg ikut kursus disitu, termasuk kakaknya Jedida Santosa.
“Mbakyu saya ikut kursus di situ dan juga pentas bersama murid murid di situ,” imbuh Paulus.
Tempat kursus tari itu berada di deretan 3 rumah di jalan Bayeman bekas milik Belanda yang kemudian diambil alih oleh Kejaksaan menjadi rumah dinas kejaksaan (selatan Bank Jateng, sekarang sudah dibongkar dan menjadi pertokoan Jl. Tentara Pelajar).
“Saya tidak tahu rumah Om Oh setelah pindah dari Bayeman,” katanya.
Selain Oh Wie Soen, jangan lupakan Lim Ting Lok yang merupakan direktur Bioskop Kresna dan Bima (Globe). Bah Ting Lok, demikian panggilan akrabnya, merupakan sosok yang menyukai wayang wong.
Bahkan sebelum menjadi menjadi bioskop, Globe sempat menjadi Gedung Pentas Wayang Wong permanen (kini Bank Niaga Jl. Tidar). Sesudah dibangun bioskop, Gamelan bekas pentas di Globe dipindah ke rumahnya di Jalan Kawatan (Sigaluh) belakang Kresna.
Upaya-upaya pelestarian budaya Jawa oleh warga Tionghoa tersebut bukan sekadar menunjukkan adanya keinginan Komunitas Tionghoa untuk “menjadi” Jawa, melainkan mereka sebenarnya adalah orang Jawa itu sendiri. Terlepas dari ada tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka sebagai individu.
(bgs)