Klenteng Liong Hok Bio Magelang, Bagaimanakah Riwayatnya Dulu?

TERLIHAT MEGAH : Penampakan Klenteng Liong Hok Bio Magelang sekitar tahun 1920-an terlihat megah (foto: grup FB KOTA TOEA MAGELANG)
MAGELANG (wartamagelang.com) – Perkembangan dan sejarah masyarakat Tionghoa di Kota Magelang tidak bisa terlepas dari peran keberadaan Kelenteng Liong Hok Bio. Jadi, bisa dikatakan antara sejarah Magelang dan Tionghoa ada keterkaitannya.
Kelenteng sendiri letaknya ada pada sisi tenggara dari Aloon-aloon Kota Magelang atau di ‘pintu gerbang’ masuk ke kawasan Pecinan. Riwayat pendirian kelenteng dimuat di Majalah Tri Budaya no 96/97 edisi Januari-Februari 1962.
Menurut artikel tersebut, diceritakan bahwa kelenteng Liong Hok Bio didirikan pada tahun 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.
Nah, untuk menceritakan lebih lanjut dari kelenteng maka harus lebih dahulu mengetahui riwayat Twa Pek Kongnya dulu. Twa Pek Kong artinya patung dewa yang dipercaya menjadi tuan rumah dan yang paling di puja dari kelenteng tersebut.
Sebagaimana diketahui pada tahun 1740, pemerintah Belanda melarang kedatangan para imigran dari Tiongkok. Dan mereka yang tidak memiliki izin kerja, dideportasi ke Ceylon dan Semenanjung Harapan.
Peraturan ini, menciptakan keresahan di kalangan orang-orang Tionghoa yang sering terkena pungli oleh pejabat Belanda. Untuk menghindari nasib tidak semakin buruk, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia mengadakan pemberontakan. Tentu saja dengan kekuatan tentara yang dilengkapi dengan bedil. Belanda dapat menindas pemberontakan ini.
Sebagai akibatnya, sekitar 10 ribu orang Tionghoa di Batavia dibunuh dan dianiaya. Untuk menyelamatkan diri, banyak orang-orang Tionghoa lari dari Batavia ke berbagai kota di pesisir timur laut Jawa Tengah, seperti ke Semarang, Jepara dan Lasem di Rembang. Termasuk lari meminta perlindungan ke Kasunanan Surakarta. Tapi sayangnya tidak terlaksana.

ALTAR : Altar sembahyang di Klenteng Liog Hok Bio tahun 1980 (foto: Dok koleksi Bagus Priyana)
Nah, ada sekelompok rombongan kecil telah sampai di daerah Kedu Selatan dan bertempat tinggal di Desa Klangkong Jono. Sebuah desa yang ada di selatan Kutoarjo (sekarang disebut dengan nama Desa Jono).
Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa masih taat kepada keyakinannya, terutama pemujaan terhadap Twa Pek Kong. Maka sewaktu mereka mengungsi, tidak lupa Twa Pek Kong tersebut dibawa juga ke Desa Klangkang Jono. Twa Pek Kong tersebut adalah Dewa Bumi yaitu Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung).
Kondisi demikian, menjadikan desa ini menjadi tentram dan damai. Masyarakat bekerja dengan berbagai mata pencaharian, seperti membuat terasi, menenun kain dan perdagangan kecil lainnya. Hingga pada saat terjadinya perang Diponegoro pada tahun 1825, ternyata menjalar juga sampai ke wilayah Kedu Selatan.
Sehingga, hal ini membawa dampak buruk terhadap keberadaan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Desa Djono tersebut. Maka terjadilah keonaran yang di sebabkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dengan merampok warga desa.
Melihat hal ini, pemimpin masyarakat Tionghoa di Desa Klangkang Djono yang bernama The Ing Sing dan bergelar Bu Han Lim dari Tiongkok melakukan perlawanan. Meski pada awalnya sanggup bertahan terhadap upaya para pembuat keonaran tersebut, tapi lambat laun keberadaan mereka menjadi terdesak. Hal ini memaksa mereka untuk meninggalkan Desa Djono menuju arah timur laut.
Kemudian rombongan ini berusaha menembus benteng pegunungan Menoreh Salaman Magelang. Pada saat itu masih berwujud hutan belantara. Setelah berhasil melewati perbukitan yang terjal, sampailah rombongan ini di Magelang.
Sebagian rombongan tinggal dan menetap di Magelang. Tetapi sebagian rombongan memilih melanjutkan perjalanan menuju Parakan di Temanggung. Rombongan yang menetap di Magelang, lalu memilih tinggal di Ngarakan (sebelah barat Pecinan, sekarang sekitar Rumah Makan Pancoran Jl. Daha).

Foto Bhe Tjok Lok (dok: buku ‘Aku Berkisah tentang Liong Hok Bio, Tempo Doeloe dan Kekiniannya’, Kho Djie Tjay)
Setelah perang Diponegoro selesai di tahun 1830, maka telah pindahlah ke Magelang seorang Tionghoa bernama Be Koen Wie atau Be Tjok Lok dari Solo. Ia berjasa pada saat perang, dan diangkat menjadi luitenant/letnan oleh Belanda.
Luitenant Be Tjok Lok dijadikan pachter candu dan rumah gadai/pandhuis sehingga menjadi seorang hartawan besar dan kaya raya. Lalu Be Tjok Lok diangkatlah menjadi kapten lantaran berkaul untuk tanah miliknya yang terletak di sisi utara untuk didirikan menjadi kelenteng sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa di Magelang.
Tanah miliknya yang ada pada sisi utara itu dekat dengan Aloon-aloon. Tepatnya berada di tenggara Aloon-aloon. Rencananya, akan menjadi tempat berdirinya kelenteng tersebut.
Maka setelah kelenteng tersebut berdiri maka diberi nama Liong Hok Bio. Dan setelah kelenteng jadi maka Twa Pek Kong yang dulunya ada di Ngarakan dipindah ke kelenteng ini.
Dalam perkembangan jaman, dan semakin banyaknya jumlah masyarakat Tionghoa yang beribadah di kelenteng ini, maka para umat melakukan pengumpulan dana untuk membeli petak tanah di sekitar kelenteng. Setelah terkumpul, di belilah tiga petak rumah dengan Persil Eigendom, yang terletak di jalan Pemuda Selatan yaitu no 53/55, 57 dan 59.
Pada waktu itu, pengelola kelenteng diurus oleh semacam yayasan bernama Kong Kwan yang mengelola sampai dengan tahun 1906. Sesudah itu, didirikanlah Yayasan Tiong Hwa Hwee Kwan/THHK untuk mengelola kelenteng itu.
Pada tahun 1904, pemerintah Belanda melarang perayaan di kelenteng itu karena seringnya terjadi kecelakaan pada waktu rebutan perayaan. Kemudian, dalam kepengurusan kelenteng sendiri, ada seseorang pemimpin atau ketua disebut dengan Biokong. Biokong pertama bernama Soe Tiauw Hok. Dia menjabat selama 30 tahun. Lalu, diteruskan oleh Sie Kim Liang, Liem Tiong Soe, Oei Djil Djing. Djwa Kie dan The Djioe Lam.
Pada tahun 2014 Klenteng Liong Hok Bio terbakar. Lalu di atasnya didirikan bangunan baru. Hingga kini, Klenteng Liong Hok Bio berdiri megah (bgs/aha)