Puncak Musim Kemarau, Desa Langganan Kekeringan Belum Minta Dropping Air

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edi Susanto (Hadianto/wartamagelang.com)
MAGELANG – Hingga mendekati puncak musim kemarau pada tahun 2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang belum melakukan droping air bersih. Pasalnya, desa-desa langganan kekeringan belum meminta pengiriman air bersih.
“Desa-desa yang biasanya mengalami krisis air bersih atau kekeringan, belum minta air. Hal itu disebabkan cuaca yang tidak terlampau ekstrem. Di musim kemarau ini, terkadang masih turun hujan, sehingga sumur atau tangkapan air masih menyimpan cadangan. Namun hingga bulan September tahun ini, belum ada satupun desa yang minta bantuan droping air bersih,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Magelang Edi Susanto Senin (21/09/2020).
Edi menuturkan, biasanya, sejak bulan Juni sudah ada permintaan droping air bersih dari desa yang mengalami kekeringan. Setiap musim kemarau tiba, kata Edi, ada sekitar 42 desa yang rutin meminta bantuan droping air bersih. Sampai bulan September di tahun sebelumnya, biasanya BPBD bersama bantuan dari CSR dan relawan, sudah melakukan droping sekitar 600-700 tanki. Dengan rincian satu tanki berisi 5.000 liter air.
Edi menegaskan, droping air bersih adalah solusi jangka pendek untuk daerah yang kekurangan air. Sehingga solusi semacam itu, kata Edi, tidak boleh dipertahankan berlarut-larut.
Suatu daerah jika masih terus melakukan droping air bersih, menurutnya, berarti gagal dalam penanganan. Yang harus dilakukan, dengan menambah daerah tangkapan air dan memfungsikannya dengan baik.
“Daerah tangkapan air harus benar-benar di pelihara. Seperti di pegunungan Menoreh harus dijaga karena di sini merupakan daerah bebatuan. Droping air harus semakin kecil. Itu cara berpikir ideal. Untuk mencapai ideal, maka harus bergerak bersama,” tandasnya.
Saat disinggung mengenai belum adanya daerah yang meminta dropping air bersih, menurut Edi, disamping karena cuaca yang tidak ekstrem, juga ada solusi yang bersifat permanen. Misalnya, semakin banyaknya sumur yang dibuat oleh masyarakat serta kegiatan memelihara daerah tangkapan-tangkapan air.
Edi memberi contoh Desa Margoyoso Kecamatan Salaman, sudah ada sistem air bersih yang dibuat oleh Lingkungan Hidup. Selain Desa Margoyoso, Edi mencontohkan Desa Kenalan Kecamatan Borobudur yang langganan droping air bersih. Biasanya, dua minggu setelah kemarau tiba, desa ini akan minta droping air bersih.
“Ternyata ini mampu menyelesaikan problem air bersih. Belum semua desa melakukannya. Namun adanya budaya gotong-royong pada masyarakat, sehingga tetap mampu mengatasi problem kekurangan air bersih. Misal di desa ini kekeringan, maka desa tetangga akan menyuplai air bersih di desa yang kekurangan. Gotong-royong warga masih kental sehingga ini menjadi solusi mengatasi kekurangan air bersih. Desa Kenalan contohnya, tahun ini belum ada permintaan karena adanya suplai air oleh tetangga desa,” tandasnya.
Edi menguraikan, secara kajian geologi di Desa Kenalan, lapisan batu keras dan tanahnya tipis. Imbasnya, kata Edi, jika turun hujan, maka tanah mudah menyimpan cadangan air.
“Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena bila musim kemarau tiba, maka air cepat mongering,” pungkasnya (coi/aha)