YDK Dharma Magelang sudah Puluhan Tahun Melayani Masyarakat, Bagaimanakah Kisahnya?

Iring-iringan pemakaman jenazah warga Tionghoa dengan kereta berkuda saat melewati perempatan Pasar Rejowinangun, tanpa tahun. (dok: Eddy Harso Wibowo)

Magelang (wartamagelang.com) – Keberadaan masyarakat Tionghoa di Magelang belum diketahui secara pasti kapan pertama kali datang ke kota ini. Belum ditemukan literatur atau catatan yang bisa dijadikan acuan yang bisa mengungkapkan hal ini.

Hanya sebuah tulisan yang tertempel pada pintu masuk gerbang dari Kelenteng Liong Hok Bio yang ada di tenggara Aloon-aloon Kota Magelang yang barangkali bisa di jadikan acuan. Tulisan yang tertulis tersebut menyebutkan bahwa Kelenteng Liong Hok Bio berdiri pada tanggal 8 Juli 1864. Bisa diartikan pula bahwa sebelum tahun tersebut, masyarakat Tionghoa sudah bertempat tinggal di Magelang.

Pada jaman kolonial Belanda, pemerintah saat itu menempatkan masyarakat ini ke suatu kawasan tertentu. Dengan tujuan pemerintah Belanda lebih mudah mengawasi dan mengontrolnya.

Kawasan tertentu tersebut biasa dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan yang ada di Kota Magelang ini berada di Jalan Pemuda dan sekitarnya (Kebon, Ngarakan, Tengkon, Tukangan, Sablongan, Juritan, Kawatan).

Perasaan senasib dan sepenanggungan yang terjalin menumbuhkan rasa persaudaraan di antara mereka. Termasuk dalam hal mengurusi kematian.

Masyarakat Tionghoa menyadari bahwa kesibukan dalam keseharian di antara mereka tentunya akan mengurangi interaksi di antara mereka sendiri. Maka dibentuklah perkumpulan sosial yang mengurusi kematian.

Beberapa tahun lalu penulis berhasil bertemu dengan Kho Ping Gwan (kini sudah almarhum), mantan pegawai Yayasan Dana Kematian/YDK Dharma. Lelaki kelahiran tahun 1939 ini bertempat tinggal di Jalan Pajajaran, cuma sepelemparan batu dari Jalan Pemuda di kawasan Pecinan.

Kho Ping Gwan menceritakan bahwa pada jaman Belanda dahulu, kira-kira sebelum tahun 1942 di Magelang ada 2 perkumpulan sosial dan seni. Perkumpulan tersebut adalah Hoo Hap Hwee dan Sam Ban Hien.

Yang unik dari kedua perkumpulan ini selain mengurusi kegiatan sosial yaitu kematian, juga memiliki grup Barongsai dan Liong Samsi. Nah pada setiap perayaan tahun baru Imlek, kedua grup seni ini diadu keterampilannya.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, keberadaan masyarakat Tionghoa sangat terbatas sekali. Segala tindak tanduknya diawasi betul oleh Jepang. Termasuk dengan 2 perkumpulan sosial tersebut.

Karena itu kedua perkumpulan itu dilebur menjadi satu dengan nama Song Soe Kiok. Maka sejak saat itu perkumpulan ini hanya khusus menangani urusan kematian saja. Sedangkan lokasi atau tempat dari perkumpulan ini berada di kawasan VOETPAT KARET, tepatnya di depan seberang jalan dari rumah makan Es Murni di Jalan Sriwijaya Bogeman.

Perkumpulan ini berdiri sejak tahun 1942 sampai dengan tahun 1955. Pada masa itu proses pemakaman jenasah dari lokasi perkumpulan ini sampai pemakaman di lereng Bukit Tidar masih sederhana. Yaitu peti jenasah/siupan di taruh di atas kereta yang di tarik dengan 4 ekor kuda.

Pada waktu itu ketika proses pemakaman, para pelayat dan pengiring jenasah berjalan kaki sepanjang jalan. Pada tahun 1955 perkumpulan Song Soe Kiok berubah nama menjadi Yayasan Kematian Dharma.

Pemakaman jenazah warga Tionghoa dengan mobil jenazah milik YDK Dharma tahun 1955 saat melewati Jl. Tidar. (dok: Bagus Priyana)

Pada masa itu proses pemakaman tidak lagi memakai kereta, tapi sudah memakai mobil. Hal ini jadi lebih memudahkan prosesi pemakaman daripada dengan memakai kereta kuda. Karena tuntutan dan perkembangan jaman maka nama yayasan berubah lagi pada tahun 1960-an menjadi Yayasan Dana Kematian/YDK DHARMA.

Meski sudah berganti nama, tapi letak kantor dari perkumpulan ini tetap di VOETPAT KARET Bogeman. Baru sesudah semakin banyak anggota dan perlunya tempat yang lebih luas maka pada tahun 1973 kantor YDK DHARMA berpindah ke Jalan Singosari seperti sekarang ini.

Pada tahun 1960-an saat pertama kali memakai mobil untuk mengangkut jenasah belumlah mobil yang khusus untuk mengangkut jenasah. Tapi mobil pick-up bekas produksi tahun 1957 yang dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa mengangkut jenasah.

Salah satu panita dari pembelian mobil adalah pemilik bis Adam di Grabag. Setelah jadi maka pada saat itu pihak RST dr. Soedjono merupakan pelanggan mobil jenasah dari Yayasan Kematian Dharma.

Beberapa waktu lalu (Oktober 2020), YDK Dharma berhasil menyelamatkan sepasang roda depan dari kereta jenazah yang dulu pernah dipergunakan untuk pelayanan kematian. Selama ini roda itu hanya ada di gudang. Karena dianggap bernilai sejarah lalu dibersihkan.

Roda kayu tersebut merupakan satu satunya peninggalan YDK Dharma yang sangat bernilai penting dan bersejarah.

“Saya berharap dengan peninggalan tersebut semakin memacu pelayanan di Dharma untuk melayani seluruh warga masyarakat terutama warga magelang dengan lebih baik lagi. Pelayanan yg profesional, tulus dan tak lekang oleh waktu,” tutur Lianida.

“Sampai kapanpun dari dulu sampai sekarang bahkan sampai yg akan datang pun, jiwa raga kami untuk memberikan pelayanan kematian, menghantarkan jenasah ke peristirahatan terakhir dengan sebaik baiknya apapun kondisi jenasah, dari ras, golongan dan agama apapun,” imbuh Lianida Tjahyono, kepala kantor YDK Dharma.

Menurut Lianida, pelayanan YDK Dharma sudah didahului para pendiri yayasan yang benar benar bekerja sosial. Ia berharap jiwa sosial mereka terpancar dari peninggalan sejarah itu.

“Dan jiwa sosial itu juga yang menjadi salah satu perbedaan jiwa tenaga kerja di kantor Dharma yang lebih menekankan jiwa sosialnya,” pungkas Lianida Tjahyono.
(bgs)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)