Sungguh Kreatif, Pemuda Asal Magelang Reproduksi Sepeda Velocipede Tahun 1863

LAUNCHING : Sepeda klasik khas tahun 1863 jenis Velocipede dilaunching oleh pemuda asal Magelang, Bagus Priyana (Hadianto/wartamagelang.com)

MAGELANG (wartamagelang.com) – Berawal dari mimpi dan cita-cita sejak 17 tahun silam, kini Bagus Priyana, seorang pemuda asal Kampung Boton, Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang bisa bernafas lega. Ya, empat bulan penuh, dirinya berjibaku dan susah payah menyusun rangkaian kayu dan besi baja, menjadi sebuah sepeda klasik tahun 1863.

Sepeda yang dirangkaianya, merupakan reproduksi sepeda tua yang cukup unik dan khas. Bagus mengambil replika sepeda Velocipede karya Pierre dan Ernest Michaux dari Perancis di tahun 1863, yang disinyalir sempat masuk ke Indonesia. Untuk rangka sepeda terbuat dari besi baja sedangkan rangka kedua roda dan jari-jari rodanya terbuat dari kayu jati. Bagus menamainya sebagai Golden Dragon, Velocipede.

Berat total sepeda karya Bagus Priyana, yang juga Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang ini, mencapai 30 kilogram. Panjang sepeda dari ujung roda belakang hingga roda depan mencapai 175 cm. Sementara tinggi sepeda tersebut dari setang hingga tanah 125 cm.

Bagus Priyana disela-sela launching sepeda Golden Dragon Velocipede 1863 di Alun-alun Magelang Minggu (18/10/2020) mengatakan, mengaku dirinya sangat senang karena akhirnya mimpi 17 tahunnya menjadi kenyataan. Meskipun, kata Bagus, untuk menyelesaikan pembuatan sepeda tersebut, dirinya membutuhkan waktu sekita empat bulan, Juni hingga akhir September lalu.

Bagus mengakui bahwa, selain sebagai mimpinya dalam mewujudkan sepeda klasik ini, juga sebagai kado istimewa komunitas sepeda tua Kota Magelang yang tergabung Velocipede Old Classic (VOC) yang berulang tahun ke-17 tahun tepat pada hari ini, 18 Oktober 2020

Dirinya juga sengaja memilih sepeda karya Pierre dan Ernest Michaux dari Perancis di tahun 1863. Sebab, kata Bagus, sepeda jenis ini pernah masuk di Indonesia dan berkembang namun tidak ada peninggalan maupun data faktanya.

“Sebelumnya saya mempunyai ide untuk memberikan kado istimewa bagi Komunitas VOC yang berulang tahun ke-17 dan sejak Juni lalu saya merancang membuat sepeda ini,” katanya.

Bagus menyebutkan, dirinya tidak membuat sendiri seluruh komponen sepedanya tersebut. Melainkan, kata Bagus, dibantu 10 orang tukang, baik tukang kayu, tukang las, tukang sepeda, tukang kereta kuda, tukang pande besi dan lainnya.

Bagus menjelaskan, untuk seluruh bahan baku sepeda, dari bahan bekas namun berkualitas. Seperti kayu jati untuk velg kedua rodanya merupakan kayu jati bekas kusen jendela rumah. Lalu besi rangka sepeda dan standar dari bekas tempat tidur kuna.

Selain itu, sadel (tempat duduk-red) yang terbuat dari kayu jati, dilapisi kulit asli dan diisi dengan spon dracon. Untuk kulit asli sadel, kata Bagus, juga barang bekas dari tas koper kuna.

“Untuk memberikan sedikit lenturan pada sadel dengan kerangka sepeda, saya menggunakan peredam kejut mobil Gorkovsky Avtomobilny Zavod (GAZ) buatan Uni Soviet tahun 1960-an. Sedang untuk lampu, dari kuningan. Belum bisa dilengkapi karena yang dari minyak sungguh mahal, harganya sampai Rp 1,8 juta, itu Cuma lampu lho ya,” imbuhnya.

Bagus mengutarakan, tidak semuanya menggunakan bahan baku dari barang bekas. Tetapi ada beberapa bagian yang menggunakan kayu jati baru dan besi baja baru. Yakni jari-jari kedua roda dan besi yang digunakan untuk pengganti ban karet di kedua roda sepeda tersebut.

Bagus menjelaskan, karena terbuat dari bahan-bahan seperti kayu jati dan besi, sepeda tidak bisa melaju dengan kencang. Maksimal kecepatan hanya 13 kilometer per jam saja. Selain karena berat, kata Bagus, juga karena keras maka saat mengendarai seluruh badannya menjadi bergetar seperti dikocok-kocok.

“Seluruh badan terasa pegal-pegal, karena efek dari hantaman ban roda yang terbuah dari besi dengan aspal. Sedangkan per (peredam kejut) yang ada di bawah sadel tidak begitu memberikan ayunan suspensinya. Dan, karena membuat seluruh badan pegal-pegal, sepeda ini juga dijuluki sebagai si boneshaker atau pengocok tulang,” ujarnya.

Bagus menuturkan, tinggi sepeda yang berbeda dari biasanya sehingga saat akan mengendarai harus  berpijak pada bidang yang lebih tinggi. Selain tinggi, kata Bagus, saat mengayuh sepeda ini akan terasa berat karena tidak mempunyai rantai penggerak roda belakang. Melainkan memakai pedal pengayuh yang terbuat dari kayu jati berbentuk silinder tanpa gotri berada di poros as roda depan.

Bagus enggan mengaku berapa puluh juta anggaran yang dihabiskannya untuk membuat sepeda ini. Bahkan saat ada tawaran melepas sepeda tersebut, Bagus enggan melepasnya.

“Kalau untuk untuk pembuatan sepeda ini, nominalnya hampir senilai sepeda motor baru. Misal ada yang mau beli, saya belum mau melepasnya. Ada sih yang sudah kontak untuk minta dibuatkan sepeda yang sama, tapi saya belum menyanggupinya,” tandasnya.

Bagus menerangkan, sebelum resmi diluncurkan bersamaan dengan hari jadi Komunitas Sepeda Toea Velocipede Old Classic (VOC), sepeda Golden Dragon-nya sudah beberapa kali dicoba. Selain untuk mengetahui kekurangan sepedanya seperti apa, menurut Bagus, juga untuk evaluasi.

Bagus mengaku, dirinya sempat mengalami empat kali insiden terjatuh saat mencoba Golden Dragon. Antara lain, kata Bagus, dua kali terjatuh dan dua kali terjungkal dari sepeda tersebut.

“Dua kali jatuh, dua kali terjungkal, juga tidak kuat lama mengendarai karena amat beratnya. Seluruh badan juga terasa pegal-pegal,” tukasnya (coi/aha)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)