Soedarsono, Pelaku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogja, Hampir Mati Diburu Belanda

Letda (purn) Soedarsono (kanan berseragam LVRI), sosok tentara yang kenyang dengan pertempuran di era kemerdekaan seperti Agresi Militer Belanda I dan II, Serangan Umum 1 Maret 1949 dan perintis awal BKR. (foto: Bagus Priyana)

Kalau berbicara bertema perjuangan kemerdekaan dengan lelaki berusia hampir seabad ini, siapkan diri anda sebaik mungkin. Beliau adalah pelaku sejarah di era 1945-1949. Ia tahu betul masa-masa perjuangan yang ia lalukan di masa itu.

Adalah Soedarsono yang lahir di Yogyakarta 29 Juni 1930. Ia purnawirawan TNI AD dengan pangkat terakhir Letnan Dua dengan NRP 217792 dan berdinas terakhir di Batalyon Kavaleri 2/Serbu Dam VII/Diponegoro yang bermarkas di Magelang.

Soedarsono tinggal di Kampung Jambon Kidul no. 364, Kel. Cacaban Kota Magelang.

Ayahnya bernama R. B. Moerdohatmojo, begitu sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Begitu juga dengan Soedarsono yang bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Teknik (Kogyo Gakko) di jaman penjajahan Jepang.

Karir militernya dimulai pada Juni 1945 dalam usia 15 tahun, Soedarsono bergabung dalam kesatuan pejuang.

“Saya bergabung sebagai anggota BKR (Badan Keamanan Rakyat) pada 1945 di Yogyakarta saat organisasi itu dibentuk dengan pangkat prajurit,” ungkap Soedarsono kepada Warta Magelang, Minggu (31/10/2021).

Banyak pemuda yang bergabung ke BKR untuk membela dan mempertahankan RI usai proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Pada tahun 1946 Soedarsono menjadi anggota Laskar Rakyat Tetap yang menjadi bagian dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada tahun 1947-1948 menjadi anggota Pasukan Istimewa Garnizun di Yogyakarta yang menjadi bagian dari TRI (Tentara Republik Indonesia) dan berikutnya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Dengan demikian, Soedarsono menjadi perintis dan pelaku pembentukan BKR, TKR, TRI dan TNI.

“Saya ini tentara yang mengalami cikal bakal dan pergantian dari BKR, TKR, TRI dan TNI,” tegasnya.

Atas jasanya, Soedarsono menerima Piagam Penghargaan Lencana Cikal Bakal TNI dari Presiden Soeharto tertanggal 15 Mei 1967.

Soedarsono memiliki pengalaman bertempur yang sangat mumpuni. Misalnya saja ia pernah terlibat pertempuran dengan Belanda di Semarang kala Belanda mengadakan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.

Munculnya agresi tersebut merupakan dampak dari pertentangan antara Indonesia dengan Belanda akhirnya semakin memuncak.

“Saya bertempur di wilayah Semarang, saya dikirim dari Jogja,” ujarnya.

Soedarsono pun pernah terlibat menghadapi Belanda saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 saat Belanda menyerbu dan menguasai ibukota RI Yogyakarta.

Akibat serbuan Belanda tersebut, pemerintah sipil maupun militer menjadi kacau. Untuk membuktikan kepada dunia bahwa RI masa ada, para pejuang melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang mampu menguasai Yogyakarta selama 6 jam.

Soedarsono bergabung ke dalam Pasukan Gerilyawan di KMK (Komando Militer Kota) pada kesatuan SWK 101/WK III di bawah komandan SWK/Sub Wehkreis 101 Kapten Marsoedi dan komandan WK/Wehkreis III Letkol Soeharto.

WK III meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan SWK 101 meliputi dalam kota Yogyakarta.

“Tugas saya adalah bertahan di dalam kota dengan melakukan aksi pemasangan pamflet, teror ke pos-pos Belanda, bersih-bersih mata-mata Belanda dan pengadaan dapur umum menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949,” katanya.

Saat itu, kala Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, Soedarsono bertahan di tengah kota selama 4 bulan. Hanya tentara pilihan yang ditempatkan di dalam kota yang dikuasai musuh. Ia pun pernah bertemu dengan pejuang legendaris Komarudin.

“Komarudin itu pejuang nekat, hampir mati dia ditembak Belanda sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949,” ujarnya.

Dengan berbekal pistol dan granat, Soedarsono dan kawan pejuang yang lainnya, melakukan teror kepada Belanda, tujuannya adalah untuk menurunkan moril Belanda.

“Ini penting, biar moril Belanda turun,” katanya.

Pernah dirinya hampir tertangkap dan ditembak Belanda. Beruntung penyamarannya di sebuah pabrik kerupuk sebagai pembantu pembuat kerupuk berhasil mengelabui tentara Belanda yang sedang melakukan operasi.

“Saya melumuri beberapa bagian tubuh saya dengan tepung, biar dikira kuli pabrik kerupuk. Kalau ketahuan, saya bisa ditembak mati,” ungkapnya tertawa geli.

Tanda penghargaan dari Presiden Soekarno atas jasa Soedarsono saat membela kemerdekaan negara tertanggal 10 November 1958. (foto: Bagus Priyana)

Pakaian yang dikenakan berupa 1 stel seragam berbahan blaco berwarna putih tulang. Soedarsono merasakan betapa sulitnya menjadi pejuang. Jika masanya dicuci, terpaksa mencuci ke luar kota dan harus menunggu sampai kering sebelum dipakai kembali.

“Jenenge ringgo, garing dinggo, habis kering langsung dipakai,” ujarnya.

Soedarsono mengisahkan jika saat berjuang dulu, dapur umum menyiapkan makan nasi berbungkus daun jati yang dibawa oleh para pejuang. Adakalanya, jika beruntung bisa merasakan sayur berkuah berlimpah, sayurnya sedikit tapi kuahnya banyak.

“Namanya sego nuk-nuk,” kenang Soedarsono.

Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ini akhirnya mampu mengajak Belanda ke meja perundingan dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI pada 29 Juni 1949. Peristiwa ini populer disebut dengan Jogja Kembali.

Selain itu, Soedarsono pernah bertugas di beberapa tempat lain, misalnya ia dikirim ke Sumatera Barat untuk mengatasi pemberontakan PRRI, Gerakan Operasi Militer (GOM V) di Jawa Barat dan GOM VI di Jawa Tengah.

Penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera Barat ini diberi nama Operasi 17 Agustus dengan komandan Letkol Ahmad Yani yang dimulai pada 30 Maret 1958.

Pada tahun 1950 Soedarsono bergabung di Batalyon Kavaleri 2/Serbu Dam VII/Diponegoro dengan tugas awal sebagai pengemudi kendaraan tempur lapis baja berupa panser hingga 1957.

Soedarsono dipensiun dengan hormat pada 1 Juli 1978 dengan masa kerja/bakti selama 33 tahun.

Atas perjuangan dan pengorbanannya, Soedarsono menerima tanda jasa dari pemerintah seperti Bintang Gerilya dari Presiden-Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia Soekarno tertanggal 10 November 1958 dan Bintang/Medali Sewindu APRI dari Menhan Mr. Ali Sastroamidjojo tertanggal 3 Oktober 1953.

Selain itu ada Bintang Kartika Eka Paksi kelas III dari Kepala Staf AD Jenderal Umar Wirahadikusumah tertanggal 14 Agustus 1970 dan Piagam Penghargaan Lencana Cikal Bakal TNI dari Presiden Soeharto tertanggal 15 Mei 1967.

(bgs)

 

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)