POLIS UNTIDAR : Manuver Trump Perlu Disikapi dengan Kerjasama Alternatif dan Penguatan Tata Kelola Ekonomi-Politik

DISKUSI MENARIK : Peserta tampak serius mengikuti diskusi di POLIS UNTIDAR dengan dua narasumber pilihan (Dok Humas UNTIDAR)
KOTA MAGELANG (wartamagelang.com) – Pusat Studi Politik dan Kajian Internasional atau Centre of Politics and International Studies (POLIS) Universitas Tidar menggelar Diskusi Seputar Hubungan Internasional atau DIKSHI seri ke-7, Kamis (24/04/2025). Diskusi kali ini membahas mengenai efek lanjutan dari kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
DIKSHI kali ini mengundang dua pemantik diskusi yaitu Dr. Phil. Arif Budy Pratama, peneliti di Pusat Studi Smart and Sustainable Cities (SSC) sekaligus dosen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipo) yang baru saja menyelesaikan postdoktoralnya di Harvard University.
Arif menilai, terpilihnya Trump berpotensi berdampak pada berkurangnya bantuan luar negeri. Menurutnya, program-program pembangunan untuk berbagai negara melalui kerangka USAID rawan dihentikan.
“Akibatnya, keberlanjutan bantuan kesehatan, sanitasi, dan pendidikan, termasuk beasiswa riset dan studi di AS diragukan. Hal ini wajar karena secara psikologis, preferensi Trump terhadap pengembangan dunia pendidikan kurang,” kata Arif.
Menurut Arif, pendidikan di AS sebenarnya sudah menjadi bisnis. Namun, karena preferensi pribadi Trump, potensi pendapatan dari “bisnis” pendidikan dihalangi, salah satunya mempersulit aplikasi visa bagi calon mahasiswa luar negeri.
Alasan lain manuver Trump ada ialah untuk mengambil hati orang-orang AS yang terpinggirkan akibat imigran. Caranya, Trump memangkas anggaran yang menurutnya kurang berpihak pada warga AS terpinggirkan.
“Untuk Indonesia, saya mengusulkan agar pemerintah mulai mencari alternatif untuk melanjutkan program pembangunan untuk mengatasi, seperti menginisiasi kerjasama dengan negara kuat lain,” sebutnya.
Pemantik kedua, Bonifasius Endo Gauh Perdana, peneliti POLIS dan dosen Fispol UNTIDAR yang berlatar belakang studi hubungan internasional, berangkat dari pertanyaan “bisakah AS berdiri sendiri tanpa memedulikan negara lain?”.
“Saya melihat peluang AS untuk tidak acuh pada negara lain relatif kecil lantaran hubungan saling ketergantungan antarnegara dalam wujud rantai pasok komoditas. Dia mencontohkan bahwa barang berlabel made in China, misalnya, tidak selalu murni dibuat oleh China. Bisa saja, bahan baku maupun aksesoris barang tersebut berasal bukan dari China,” papar Endo.
Trump yang dibingkai sebagai pembebas bagi warga AS dari ancaman kedaulatan negara. Namun, pemahaman Trump ini, menurut Endo, adalah ilusi. Perdagangan perlu dilihat dari kacamata multi-level (lokal/daerah, nasional, dan internasional). Meski rentan terhadap ketergantungan, AS masih punya daya tawar karena korporasi AS menguasai hulu dalam bisnis, seperti riset, inovasi, dan merek.
“Untuk memperlancar negosiasi dan menguntungkan kepentingan nasional, Endo mendorong Indonesia untuk memilih teknik negosiasi dengan Trump. Opsinya apakah Indonesia akan mengonfrontasi seperti China, berbicara di balik layar, berkoalisi dengan negara lain, atau memperkuat hulu dalam rantai bisnis,” imbuhnya.
Salah satu peserta diskusi Wijoseno Cahyo Atmojo, mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara UNTIDAR, mengapresiasi forum diskusi yang diadakan oleh Pusat Studi Politik dan Kajian Internasional UNTIDAR ini.
“Dikshi mewadahi kita dimana berkumpul dengan orang-orang progresif, pemikiran yang kritis serta mendapatkan pengalaman berdasarkan bukti ilmiah terkini mengenai situasi dunia internasional saat ini dan relevansi nya dengan keadaan politik bangsa,” tuturnya.
Menurutnya kebijakan Trump merupakan ambisi dari Trump itu sendiri. Mengingat janji kampanye dari Trump ketika menyalonkan diri menjadi presiden yaitu membuat Amerika menjadi superpower.
“Namun, keinginan Trump ini saya rasa tidak bisa karena negara pasti berhubungan dengan negara lain,” jelasnya.
Diskusi yang dihadiri peserta baik dari dosen maupun mahasiswa dari berbagai latar belakang multidisiplin ilmu ini ditutup dengan kesepahaman mengenai pentingnya pola bermain dalam tata kelola ekonomi-politik yang menguntungkan masyarakat luas (had/aha)