Mengangkat Tema Nglaras, Sesrawungan ke-27 Dijadikan Ruang Publik untuk Bertukar Pikiran

foto: Asmita Yuthia/wartamagelang.com

Sesrawungan ke-27 dengan narasumber Lyra de Blauw dan Oentoeng Noe, di pendopo Mantyasih. Sabtu malam (03/11/2024). foto: Asmita Yuthia/wartamagelang.com

MAGELANG (wartamagelang.com)– Sesrawungan ke-27 kali ini mengangkat tema Nglaras sebagai tema pembicaraan. Sesrawungan mengundang Lyra de Blauw dan Oentoeng Noe sebagai narasumber. Dengan bertempat di pendopo Mantyasih, Sesrawungan dilaksanakan pada Sabtu malam (03/11/2024).

Sesrawungan adalah sebuah ruang yang didirikan sejak 2022. Terbentuk awalnya beberapa orang yang sering ngobrol di alun-alun. Kemudian sewaktu bulan puasa, takmir Masjid Agung mau memberi tempat di serambi Masjid Agung. Akhirnya dengan beberapa pertimbangan, Sesrawungan memilih pindah ke pendopo Mantyasih.

Rintik hujan pada malam Minggu tidak membuat partisipan enggan hadir, terbukti dengan banyaknya peserta diskusi yang datang. Peserta Sesrawungan yang hadir biasanya berasal dari mahasiswa Untidar, Bina Patria, Amikom hingga mahasiswa dari Jogja maupun Boyolali.

Pada Sesrawungan yang ke-27 ini, tema yang diangkat adalah Nglaras. 

Narasumber yang hadir ada Lyra de Blauw dan Oentoeng Noe atau biasa yang disebut konco ngobrol di sesrawungan.

Lyra de Blauw adalah pemilik sanggar Srikandi sekaligus anggota Komunitas Lima Gunung. Lyra aktif di kesenian khususnya bidang tari dan musik.

Sementara Oentoeng Noe adalah seorang perupa lebih senang melukis. Pertemuan tersebut akan membahas Nglaras dari dua persepektif yang berbeda.

Oentoeng mendefinisikan Nglaras sebagai aktivitas sesorang tidak melakukan apa apa hanya duduk santai kemudian merokok atau menikmati secangkir kopi maupun teh. Hal itu sebagai penyeimbang atau obat untuk menikmati hidup, melepas penat atau lelah sehari-hari. Nglarasnya beliau sebagai pelukis menikmati tempat tempat tertentu kemudian kita visual kan apa yang di anggap berharga.

” Leyeh leyeh dan nglaras bukan suatu kemalasan. Nglaras adalah solusi melepaskan kelelahan sebagai solusi penyeimbang.” ujar Oentoeng.

Sementara Lyra mengatakan nglaras sering kali orang melihatnya bermalas malasan, padahal dalam pikirannya berlarian mana-mana. Sebagai pekerja seni beliau menyadari bahwa mood sangat dibutuhkan untuk menciptakan ide-ide baru. Sehingga nglaras dibutuhkan agar hidup seimbang dan harmonis. Nglaras bagi dirinya adalah dengan tidak melakukan apapun selama seharian. Selain itu sebagai Ibu dan Guru Tari ia juga mempunyai kegiatan nglaras lain.

”Saya tuh kalo lagi nglaras diam seharian ngga ngapa-ngapain, tapi sebagai ibu saya juga punya nglaras lain yaitu dengan scroll tiktok atau bergaul dengan anak-anak generasi muda. Jadi tidak ketinggalan tren dan bisa jadi teman buat anak saya dan anak sanggar. Saya juga kadang masih bisa nglaras sebagai penyanyi di grup band saya ,Kawan Lama Ben,”ujar Lyra.

Setelah pemantik dari dua narasumber tersebut, terjadilah obrolan lain yang mengalir terkait nglaras dari prespektif generasi Z atau menurut cara pandang mahasiswa. yaitu bisa me time atau healing, naik gunung atau ke pantai.

Pengiat sesrawungan, Abdur mengatakan bahwa sesrawungan ini adalah ruang bagi siapapun yang mau hadir. Sesrawungan dilaksanakan setiap tanggal 2 di setiap bulannya. Sesedikit apapun pesertanya akan diusahakan selalu dilaksanakan. Acaranya pun semi formal sehingga tidak terlalu kaku. Durasi obrolannya biasanya dari jam 20.00-23.00 WIB.

”Harapannya sesrawungan ini tetap terus berjalan dan juga lebih banyak menebar manfaat bagi mereka yang hadir. Sehingga mereka yang hadir dapat memperoleh hasil.” pungkas Abdur. (mg3/wq)

Penulis: Asmita Yuthia

Editor: Freddy Sudiono Uwek

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)