Kisah Seorang Tionghoa yang Membagi Roti untuk Para Pejuang
Hembusan angin mengibarkan Sang Merah Putih di halaman depan sebuah toko tua berwarna putih gading yang ada di tepian Jl. Akhmad Yani Poncol Kota Magelang. Terlihat 2 buah mobil terparkir di depannya, di tengah hiruk pikuk lalu lintas jalan. Tak ada plang nama toko di dinding depan bangunan yang mencirikan gaya Indis ini. Cuma ada selembar banner berwarna biru di pintu masuk toko.
Bagian jendela kaca di samping pintu masukpun cuma buka separo. Di bagian dalam toko terdapat etalase untuk menaruh roti dagangan. Di sudut kiri terdapat meja kerja untuk mencatat kiriman paket dan pesanan tiket.
Di pojok belakang terdapat meja dengan timbangan kuno untuk menimbang bahan baku pembuatan roti. Selebihnya hanyalah ruang kosong.
Toko ini adalah Toko Mahkota, sebuah nama baru bagi toko penjual roti, jasa penitipan paket dan penjualan tiket bus. Sebenarnya, nama ‘Mahkota’ adalah nama baru dari Salon ‘Queen’ di samping toko ini yang dikelola oleh si istri dari pemilik toko roti itu.
Perubahan nama ‘Mahkota’ menjadi ‘Queen’ karena kebijakan Orde Baru di akhir tahun 1980-an. Jadi, nama ‘Mahkota’ seolah-olah menjadi nama baru dari toko roti di sebelahnya. Iya, toko tua ini dulunya bernama Toko ‘Bie Sing Ho’, toko tertua dan legendaris di Magelang yang tetap eksis hingga kini.
Toko Bie Sing Ho adalah toko ternama di era Belanda yang khusus menjual es krim dan roti. Sebelumnya di sekitar tahun 1930-an toko ini terletak di Pecinan, baru pada tahun 1938-an berpindah di Grooteweg Noord Pontjol no. 41 (kini Jl. Akhmad Yani no. 41 Poncol.
Toko ini menjadi toko favorit bagi kalangan Eropa yang tinggal di kota ini. Terlebih, di depan toko ini merupakan basis militer Belanda yakni Kaderschool (kini komplek Rindam IV/Diponegoro) dan kawasan Poncol ini adalah pusat hunian masyarakat Eropa di Magelang.
Pemilik toko ini adalah Kwee Siong Djien alias Joni Mulyono (79), generasi kedua dari pemilik Toko ‘Bie Sing Ho’ Kwee Thwan Hie. Kwee Thwan Hie lahir pada 1910 dan meninggal pada 1998. Joni mengisahkan jika di masa perjuangan, kondisi tokonya mengalami kesurutan.
Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat masa tersebut merupakan masa-masa sulit. Bukan cuma untuk tokonya, tetapi untuk semua lini usaha. Terlebih kondisi Magelang yang juga mengalami porak poranda akibat perang.
Bahan baku roti sulit untuk didapatkan. Konsumenpun tiada yang membeli, mengingat pengkonsumsi roti adalah orang Eropa khususnya Belanda.
Toko Liong Ho Ging tahun 1935, sesudah toko ini tidak beropetasi, gedungnya ditempati oleh Toko Bie Sing Ho.[/caption
Ada satu hal yang diingat dari papahnya. Pada sekitar tahun 1949 sesudah pasca Clash kedua, papahnya men-suport logistik para pejuang yang sedang kembali ke kota dari daerah gerilya.
Caranya adalah dengan membagikan kupon-kupon ke pejuang. Kupon-kupon ini dibagikan melalui komandan-komandan laskar pejuang. Oleh para pejuang, kupon ini ditukarkan dengan roti tawar di Toko Bie Sing Ho.
Setiap kupon yang ditukarkan, akan dilubangi sebagai tanda jika roti sudah diambil oleh pejuang. Kupon ini berupa selembar kertas yang dibagi-bagi dalam kotak kecil yang diberi tanggal pengambilan roti. Jatah pengambilan roti adalah setiap pagi. Dan ini berlangsung selama setahun.
Sistem kupon ini dipakai mengingat ketersediaan roti sangat terbatas. Joni Mulyono mengatakan jika gandum sebagai bahan baku roti didapatkan dari para komandan gerilya.
Belum diketahui dari mana bahan gandum ini didapatkan. Ibaratnya, gandum disuplai dari komandan gerilya, Toko Bie Sing Ho yang mengolahnya menjadi roti dan membagikannya kepada para pejuang.
Meskipun cuma men-suplai roti tawar saja, tapi di saat itu sudah terbilang mewah mengingat itu terjadi di masa-masa sulit. Tetapi bagi para pejuang, selembar roti tawar bukan hanya untuk sekadar mengganjal perut saja, tetapi juga menjadi simbol ‘pengambilalihan kekuasaan’ dari Belanda ke Republik.
Roti adalah simbol ‘kebelandaan’ karena memang makanan ini menjadi makanan pokok orang Belanda. Simbol kaum Republik adalah ‘roti sumbu’ alias ketela atau singkong.
Peran Kwee Thwan Hie dalam membagikan selembar roti tawar mungkin dianggap kecil. Mungkin saja perannya tak sehebat orang-orang Tionghoa lainnya yang mengangkat senjata melawan penjajah membela negeri ini.
Tetapi peran Toko Bie Sing Ho teramat pantas untuk dicatat dalam lembaran sejarah masa perjuangan di kota ini. Perannya tak bisa dilupakan begitu saja. Bagi Kwee Thwan Hie, roti tawar adalah simbol kecintaannya bagi negeri ini, Indonesia.
(bgs)