KISAH NYATA : AKU ORANG JEPANG, JIWA RAGAKU UNTUK INDONESIA
Pengantar:
Masa Perang Dunia ke 2 dan masa pergolakan perjuangan Indonesia, membawa kisah tersendiri. Banyak yang gugur dalam masa-masa tersebut. Bahkan ketika Jepang berkuasa di Hindia Belanda di tahun 1942 hingga 1945, tidak sedikit para tentara Jepang yang melakukan harakiri atau bunuh diri karena tidak ingin menyerah kepada pihak Sekutu. Ada juga yang menyerahkan diri kepada Sekutu dan dijadikan tawanan perang. Tetapi ada juga tentara Jepang yang justru berpihak kepada kaum Republiken dan mengangkat senjata melawan pihak Inggris dan Belanda, termasuk beberapa tentara Jepang yang ada di Magelang.
Bagaimanakah kisah selengkapnya?
Simak kisah nyata berikut ini.
===================
Nb : pelaku sudah meninggal dunia pada tahun 1998, kisah ini di tulis ulang berdasarkan beberapa sumber tulisan dan hasil wawancara dengan anak-anak pelaku pada tahun 2018 lalu.
===================

Mitsuyuki Tanaka alias Sutoro (foto: koleksi keluarga)
Namaku Mitsuyuki Tanaka, lahir pada 10 Oktober 1921 di sebuah desa kecil bernama Kiyomimachi di kota Takayama Propinsi Gifu Jepang. Aku masih keturunan keluarga Samurai pengawal kerajaan yang identik dengan Ninja.
Meski aku terlahir di sebuah desa, tetapi jiwa sebagai seorang ksatria sudah mendarah daging pada keluargaku dan diriku sendiri. Ayahku pun memiliki tanah yang luas di desaku.
Aku adalah putra sulung dari 7 bersaudara. Saat aku berumur 18 tahun (tahun 1939), para anak muda di wajibkan untuk ikut wajib militer.
Surat panggilan dari pihak kotapraja menghampiriku agar aku datang ke kantor tanpa perlu membawa apapun kecuali beberapa celana dalam.
Saat meninggalkan Jepang karena tugas militer, aku sudah memiliki istri yang baru kunikahi 2 bulan sebelumnya. Nama istriku Tomiko Yano. Panggilan tugas militer inilah yang membuat aku terpisah dengan istriku.
Kelak, di tahun 1970 saat aku berkesempatan ke Jepang, aku bertemu kembali dengan istriku ini, meskipun dia sudah menjadi istri dari orang lain. Pertemuan ini membuat rasa haru di hati kami. Perang telah memisahkan kami selama 41 tahun. Aku menganggap ini sudah takdirku.
Dua bulan sejak menikah itulah hidupku berubah. Panggilan militer yang menjadi penyebabnya. Aku menjadi seorang tentara, bukan hanya aku saja tetapi semua anak muda Jepang yang memenuhi syarat wajib ikut serta.

Aku dan keluargaku di Jepang, sebelum aku dikirim perang (foto: Intisari)
Mulai pemeriksaan kesehatan, menimbang berat dan tinggi badan. Syarat-syarat ini harus terpenuhi dengan baik untuk menjadi prajurit perang. Ribuan pemuda mendaftar dan bergabung memenuhi panggilan kerajaan. Kami di gembleng dengan keras untuk menjadi tentara yang siap tempur.
Tugas pertamaku dikirim ke wilayah Mancuria di Tiongkok pada tahun 1939. Setahun kemudian berpindah ke Taiwan, Filipina dan kemudian ke Singapura dan Thailand.
Untuk memindahkan ribuan tentara, dipergunakanlah kapal besar beserta perlengkapannya.
Pada tahun 1940, aku di tugaskan di Hindia Belanda (Indonesia), mulai di Tarakan Kalimantan dan Surabaya. Di tempat inilah hidupku benar-benar berubah, aku harus mengalami dahsyat dan pahitnya Perang Dunia II.
Pada tahun 1942 aku dikirim ke Flores, tidak lama kemudian lalu dipindah ke Irian Barat selama 2 tahun hingga tahun 1944. Tugasku sebagai pelatih bagi pasukan Jibakutai.
Memang pasukan ini kalah tenar dibandingkan dengan PETA ataupun HEIHO. Jibakutai dibentuk dari masyarakat pribumi untuk melawan Belanda jika Belanda datang dan menyerang pertahanan Jepang khususnya di Irian Barat.
Jibakutai dibentuk pada Desember 1944 yang terinspirasi oleh pasukan Kamikaze meski sebenarnya Jibakutai ini tak lebih dari pasukan kelas dua. Walaupun demikian kiprahnya juga dibutuhkan kala pasukan inti membutuhkan bantuan.
Jibakutai bukanlah pasukan militer, mereka terdiri dari beragam profesi seperti guru, tukang, dll. Tentu saja berbeda dengan tentara pada umumnya.
Masa-masa antara tahun 1942-1945 merupakan masa tersulit dalam hidupku karena harus berperang melawan Sekutu. Berbagai medan pertempuran sudah aku rasakan. Pengalaman perang di berbagai tempat inilah yang menempaku menjadi tentara tangguh.
Pada tahun 1945 aku dikirim ke Jakarta karena saat itu pasukan Sekutu sangat agresif dan berusaha untuk merebut kembali Hindia Belanda khususnya di Jawa.
Di tahun-tahun ini pula, peperangan makin gencar. Tentara Jepang makin kewalahan menghadapi pasukan gabungan Sekutu tersebut.
Ketika bom atom di jatuhkan pasukan Sekutu di Nagasaki dan Hiroshima pada 6 dan 9 Agustus 1945 dan pada akhirnya membuat Jepang bertekuk lutut.
Di saat itulah tidak sedikit tentara Jepang yang menyerahkan diri pada Sekutu, tidak sedikit juga para tentara Jepang ini melakukan harakiri atau bunuh diri dengan menusukkan samurai ke perutnya dari pada harus menyerah.
Di sisi lain ada juga tentara Jepang yang justru bergabung dengan kaum Republiken dan melawan pihak Sekutu, salah satunya adalah aku. Ya, aku memilih bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kelak akan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Aku bergabung dengan BKR bukan tanpa alasan dan tidak ada kendala. Alasanku adalah aku ingin melawan Sekutu yang telah menghancurkan negaraku di Jepang sana.
Dan aku juga ingin, keterampilanku sebagai tentara ingin aku ajarkan pada para pejuang Indonesia yang baru lahir beberapa hari sebelumnya (17 Agustus 1945).
Sebelum aku diterima sebagai bagian dari BKR, banyak yang mencibirku jika aku tidak pantas membela Indonesia. Mereka menganggap jika aku cuma ingin menyelamatkan diriku saja.
Menurut mereka, aku tidak mau menyerah pada Sekutu ataupun melakukan harakiri.
Aku akui dan bisa memaklumi bahwa cibiran mereka adalah hal yang wajar di masa pergolakan Republik ini. Aku berjanji bahwa jika aku bergabung dengan BKR aku akan mendarmabaktikan jiwa ragaku untuk Indonesia.
Saat itu aku bertugas di Magelang, tepatnya di tangsi kaderschool (sekarang menjadi kompleks Rindam IV/Diponegoro). Pangkatku sudah cukup baik yaitu Buco atau Sersan. Dan ketika aku memutuskan bergabung dengan BKR, pangkatku naik menjadi Sersan Mayor. Letkol Sarbini menjadi pimpinanku saat itu.
Begitu secara resmi bergabung dengan BKR, aku berusaha sepenuh hati mencurahkan segala kemampuanku untuk Republik ini. Salah satunya adalah melatih para pejuang untuk meningkatkan ketrampilan dalam pelatihan peperangan dan penggunaan senjata.
Hal ini aku lakukan, mengingat masih sedikit para pejuang yang benar-benar punya kemampuan baik dalam peperangan khususnya penggunaan senjata. Hal ini wajar mengingat saat itu penggunaan senjata cuma dipakai di kalangan militer saja, sedangkan para pejuang yang terampil hanya di kalangan tertentu saja seperti Heiho dan Peta.
Pengalamanku dalam Perang Dunia II sangat berguna sekali untuk melatih para pejuang ini.
Aku tahu, bahwa apa yang aku lakukan ini di kemudian hari akan berguna bagi pejuang dalam pertempuran dan akan sangat membantu bagi mereka.
Sebuah peristiwa hebat terjadi pada tanggal 25 September 1945, yaitu ketika peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di puncak Gunung Tidar. Sebuah peristiwa yang membuatku merasa tercabik-cabik karena ada 4 pejuang yang gugur karena ditembak oleh pasukan Kenpeitai (tentara Jepang) yang bermarkas di eks gedung HCS (Hollandsche Chinnesse School, kini SMK Wiyasa Jl. Tidar).
Saat itu aku ikut serta naik ke Tidar bersama para pejuang. Saat turun dari Tidar itulah terdengar suara tembakan dari markas Kenpeitai ke arah kami. Aku tersentak dan berusaha membalas tembakan tentara Jepang tersebut yang dulunya aku bela.
Tapi karena aku sudah berjanji untuk mendarmabaktikan jiwa ragaku untuk Indonesia, maka akupun tak segan-segan membalas serangan Kenpeitai itu. Empat orang pejuang gugur yaitu Kusni, Slamet, Sarmad Sastrodimedjo dan Jayus. Selain itu puluhan orang lainnya luka-luka.
Peristiwa lain yang sangat memilukan buatku adalah peristiwa di Kampung Tulung Desa Magelang. Di rumah Lurah Magelang ini menjadi dapur umum bagi pejuang, dapur umum itu tempat untuk memasok kebutuhan makan bagi para pejuang. Tidak hanya di kampung Tulung saja yang ada dapur umumnya tetapi ada 2 tempat lagi yaitu di Mertoyudan dan Jagoan. Untuk kebutuhan dapur umum ini bahan bakunya di pasok dari Secang, Bandongan, Muntilan dan Mungkid.
Saat itu menjelang akhir Oktober 1945. Sebuah peristiwa hebat di Kampung Tulung yang dilakukan oleh Tentara Jepang kepada kaum Republiken, sebuah peristiwa memilukan yang tercatat dalam lembaran hitam perjuangan bangsa ini.
Peristiwa di Kampung Tulung itulah yang begitu menyesakkan bagiku. Banyak pejuang yang gugur karena mendapat serangan tak terduga dari tentara Jepang yang sebenarnya mereka adalah rekan-rekanku dulu yang mendapat hasutan dari Sekutu.Kami menyebut peristiwa itu dengan nama ‘Pembantaian di Dapur Umum Tulung’.
Peristiwa inilah yang memicu pertempuran PALAGAN MAGELANG dari 31 Oktober hingga 2 November 1945. Pertempuran hebat antara Republiken dengan Sekutu. Hingga Presiden Sukarno pun turun langsung ke Magelang untuk meredakan pertempuran tersebut.
Ada sebuah peristiwa yang tidak mungkin kulupakan saat Palagan Magelang itu. Peristiwa itu adalah saat aku naik ke Watertoren dengan membawa senjata untuk menembaki tentara Gurkha yang ada di gedung Susteran (kini SMP Tarakanita dan Pius).
Saat di atas Watertoren itulah ada 2 pesawat cocor merah yang menembaki pasukan Republik. Ku tembaki pesawat-pesawat itu. Aku tidak takut mati, pesawat itu harus bisa kulumpuhkan.
Sialnya, senjataku macet !
Aku turun ke bawah, berlari ke arah Gereja Kristen di utara Aloon-aloon. Ku coba perbaiki senjataku ini. Setelah berhasil, aku bergegas lari kembali naik ke Watertoren. Ku tembaki lagi cocor merah itu. Tak ku sangka, 2 pesawat terkena tembakanku. Satu jatuh di Pasar Kaliangkrik dan satunya jatuh di daerah Sapuran (masuk kabupaten Wonosobo).
Kelak baru aku tahu, badan pesawat yang jatuh di Pasar Kaliangkrik itu oleh masyarakat setempat dibuatlah menjadi alat-alat dapur seperti wajan dan panci.Ah, rupanya rongsokan pesawat itu ada manfaatnya juga buat rakyat desa.
Suatu waktu aku juga pernah melakukan hal yang beresiko tinggi akan keselamatan jiwa ragaku. Salah satunya adalah mengambil senjata di Kaderschool (tangsi militer).
Karena aku bekas tentara Jepang, aku tahu dimana tempat gudang senjata. Akhirnya senjata-senjata itu bisa ku dapatkan, setidaknya bisa untuk mempersenjatai kaum pejuang. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untuk Republik ini.
HAMPIR MATI DI AMBARAWA
Salah satu pertempuran yang membekas dalam jiwa ragaku adalah saat pertempuran di Ambarawa Oktober 1945. Iya Palagan Ambarawa ! Palagan Ambarawa adalah salah satu pertempuran terhebat dalam sejarah bangsa ini.
Saat itu aku di bawah pimpinan Letkol. Sarbini. Pertempuran hebat itu hampir saja membuat nyawaku melayang. Bagaimana tidak, sebuah peluru musuh menyambar dada kiri ku.
Entahlah, aku tidak begitu ingat dengan peristiwa ini. Tahu-tahu dada kiriku sudah bersimbah darah dan aku pun tak sadarkan diri.

Bekas luka di dada kiriku (foto: Intisari)
Bekas luka tersebut masih membekas di dadaku hingga kini. Aku bersyukur jiwaku masih selamat, meski harus menanggung bekas luka seumur hidupku.
Semua ini demi Indonesia.
KISAH CINTAKU
Ah rasanya sudah cukup aku menceritakan soal masa-masa saat perjuanganku dulu, tidak cukup memoriku untuk menceritakan secara detail peristiwa-peristiwa itu. Meski aku akui, dampak perang-perang tersebut baik skala kecil, sedang maupun besar yang pernah ku lalui, begitu mempengaruhi kondisi fisik dan psikis ku.
Ini adalah hal yang wajar, aku hanyalah manusia biasa. Memang, perang begitu kejam dan inilah resiko dari seorang tentara. Ah sudahlah, aku akan menceritakan soal istriku. Karena dialah yang membuat hidupku makin berarti untuk Indonesia.
Aku pertama kali bertemu dengan istriku di Salaman, sekitar 17 km arah barat daya dari Kota Magelang. Salaman adalah sebuah kecamatan di kaki Menoreh dan berada di ruas jalan antara Purworejo dan Magelang, masuk wilayah Kabupaten Magelang.
Saat itu sekitar tahun 1947 dimana aku di tugaskan di daerah Salaman, tentu saja aku sudah menjadi tentara BKR. Suatu ketika, di sela-sela bertugas sebagai tentara, kawan-kawan ku sesama pejuang sering mengisi waktu dengan mencari hiburan.
Kebetulan sekali markas kami sering kedatangan perempuan-perempuan desa yang dengan sukarela mengantarkan bantuan logistik berupa sayuran dan hasil bumi seperti beras ataupun ketela.
Nah kebetulan ada seorang perempuan yang bernama Suparti yang sering datang ke markas kami. Dia berasal dari Brengkel Salaman. Seperti biasa, saat mengantar itu selalu memakai kebaya dan Jarit, baju khas wanita desa.Oleh kawanku, aku sering diledek dan dijodoh-jodohkan dengan Suparti ini.
Ah, jiwa anak muda mana yang tidak panas dingin jika sering diledek seperti itu. Awalnya aku sendiri tidak begitu berharap mengingat aku hanyalah orang Jepang yang berpihak pada Republiken ini. Aku bukan orang Jawa, mustahil kalau Suparti tertarik padaku.
Kata orang Jawa, witing tresno jalaran soko kulina. Perjumpaan secara rutin membuatku jatuh cinta padanya. Demikian juga dengan Suparti. Rupanya, dari awal mula di ledekin oleh kawan-kawan, benih-benih cinta di antara kami tumbuh bersemi.
Siapa yang tahu, di tahun 1948 kami menikah. Aku berbahagia sekali bisa menikah dengan nya, mengingat bahwa di masa itu merupakan masa-masa sulit mengingat aku juga harus memanggul senjata melawan Belanda.
Bulan madu? Ah tak pernah aku pikirkan. Yang pasti aku bangga dengannya. Meskipun dia perempuan desa akan tetapi juga berperan penting bagi bangsa ini, salah satunya sering menyelundupkan senjata khususnya pistol untuk kaum Republiken. Tentu saja caranya di sembunyikan di bawah dasaran tenggok sayuran yang dia bawa.

Suparti, istriku (foto: koleksi keluarga)
Pernah juga Suparti dipercaya menjadi kurir surat rahasia antar petinggi BKR di wilayah Magelang. Atas jasanya, kelak Suparti mendapatkan penghargaan dari bangsa ini. Di atas makamnya tertanam bambu runcing sebagai simbol kepahlawanan pada era 1945. Sebuah penghargaan bagi para masyarakat atas jasanya kepada bangsa Indonesia.
ANAKKU YANG PERTAMA
Sesudah menikah beberapa lama, lahirlah anak kami yang pertama yang bernama Sukatisah. Betapa bahagianya hati kami berdua, di tengah suasana perang, Sukatisah hadir membuat riuh rendah keluarga kecilku.
Tapi keadaan makin sulit, Belanda rupanya juga sudah mengincar Salaman. Kami harus segera menyelamatkan diri. Aku dan istriku yang saat itu menggendong anakku, beranjak menuju wilayah Bruno di Purworejo dengan menembus hutan lebat di Pegunungan Menoreh.
Sebuah perjalanan yang panjang mengingat saat itu kami harus berjalan kaki bersama rombongan yang lain. Saat itu yang kupikirkan adalah keselamatan anakku, maklum saja anakku masih bayi. Perjalanan panjang dan kondisi medan yang berat, membuat kondisi kesehatan anakku menurun.
Dan saat tiba di sebuah desa di wilayah Bruno Kabupaten Purworejo, anakku meninggal dan pergi untuk selamanya. Aku berduka, istriku sedih karena ini anak pertama kami yang harus meninggal dunia di masa perang karena sakit.
Tidak bisa tidak aku harus mengikhlaskan semua ini, aku membesarkan hati istriku. Aku tahu, dia teramat terpukul oleh kepergian Sukartinah, anak pertama kami.

Anak-anakku
KELUARGAKU
Oya aku hampir lupa. Sesudah aku menikah maka aku mengubah namaku dengan nama Jawa yaitu Sutoro. Tetapi karena aku sering di incar Belanda maka akupun sering berganti nama, seperti misalnya saat di Salaman aku merubah nama menjadi Basri, pernah juga menjadi Sastro dan Setro, tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak.
Sepeninggal anakku yang pertama, istriku melahirkan anakku yang kedua pada tahun 1952 yang kuberi nama Sugiyono. Berikutnya berturut-turut anakku lahir yang kuberi nama Sugiyarti, Sugiyarsih, Sugiyanto, Sugiyon, Sugiri, Sugitrieni dan Sugi Pamungkas. Keseluruhan ada 11 anak, yang 3 sudah meninggal dunia.
Kenapa anak-anakku kuberi nama berbau Jawa? Karena aku adalah “orang” Jawa, istriku dari Brengkel Salaman yang asli orang Jawa. Aku cinta Jawa, aku cinta Indonesia. Aku ingin hidup, mati dan di kuburkan di Jawa ini.

Keluargaku (foto: Intisari)
Di foto ini merupakan foto yang sangat berharga. Saat itu sekitar tahun 1970, aku mengajak istri dan anak-anakku ke Studio Foto “Kwan” di depan Hotel Thay Tong Pecinan (kini menjadi Studio Foto Kawan di depan Hotel Sumber Waras Jln. Pemuda Kawasan Pecinan).Sungguh bahagia sekali aku, bisa mengabadikan sebuah keluarga yang dibangun pada masa-masa sulit.
Kini aku sudah pensiun dari kemiliteran. Sebelum pensiun aku pernah berdinas di Yon 436 di Magelang tahun 1964. Pada tahun 1965 saat aku bertugas di Kodim 075 di Magelang, meletuslah peristiwa G30S PKI.
Saat itu aku berpangkat Kapten dan melakukan operasi pembersihan di daerah Wonosobo, Sawangan dan Salaman. Pada tahun 1974 aku pensiun dari kedinasan dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Konon, pangkatku ini adalah pangkat tertinggi yang pernah diraih oleh eks tentara Jepang yang menjadi anggota TNI. Dan untuk mengisi hari-hariku, aku bekerja menjadi pengusaha angkutan umum yaitu bis.
Anak-anakku juga sudah besar, tetapi tak sedikit pun terbesit untuk mendorong mereka menjadi tentara. Cukup aku saja yang merasakan pahit getirnya dunia militer. Aku ingin anak-anakku bekerja di bidang lain.
Ada satu hal yang selalu ku sampaikan pada anak-anakku, cintailah Indonesia karena ini adalah tanah airmu.
Aku akan marah besar jika saat hari nasional, tidak ada bendera Merah Putih berkibar di depan rumahku. Anak-anakku harus menyadari bahwa Republik ini berdiri di atas pengorbanan jiwa raga ribuan bahkan jutaan pejuang dan rakyat Indonesia.

Aku dengan pakaian seragam tentaraku di akhir masa dinasku (foto: koleksi keluarga)
Akupun tidak suka jika ada bendera Jepang di rumahku. Aku merasa bahwa aku adalah orang Indonesia, bukan orang Jepang. Memang aku lahir di Jepang, tetapi Indonesia adalah tanah airku kini. Aku ingin hidup, mati dan di kubur di Indonesia.
Jiwa ragaku untuk Indonesia.

Makam Mitsuyuki Sutoro alias Sutoro di TMP Giridarmoloyo Magelang
(Selesai).