Sarwo Edhi Wibowo Mengatur Siasat Melawan Belanda di Dusun Perjuangan ini

Rumah H. Sirodj di Dusun Gedongan Desa Bondowoso Kec. Mertoyudan Kab. Magelang yang pernah dibakar oleh Belanda pada 1949. (foto: Bagus Priyana)

Magelang (wartamagelang.com) – Perjuangan bangsa Indonesia di jaman perang kemerdekaan dapat berjalan baik karena adanya saling mendukung antara tentara dan rakyat.

Pasca sesudah Kota Magelang dikuasai Belanda pada 21 Desember 1948, pada 1949 Komandan KDM (Komando Distrik Militer, kini Kodim) Mayor Murdiman terpaksa mengungsi ke berbagai desa di luar Kota Magelang.

Salah satu desa yang dijadikan tempat pengungsian adalah di Dusun Gedongan Kulon Desa Bondowoso, Kec. Mertoyudan Kab. Magelang. Di dusun ini, KDM bermarkas di rumah Mudakir.

Sebelum Belanda masuk Magelang akibat agresi militer II 1948, dusun tersebut sudah dipakai sebagai tempat pertemuan kaum gerilyawan.

Yang masuk di dusun ini ialah regu-regu dari anak buah Kapten Sarwo Edhi Wibowo (kelak menjadi komandan RPKAD) dengan kepala regunya bernama Ngatmin.

Selama gerilyawan ada di dusun ini, Sarwo Edhi Wibowo pernah menetap selama kira-kira 4 bulan lamanya untuk mengatur siasat melawan Belanda.

“Pada tahun 1980-an Sarwo Edhi pernah ke sini untuk napak tilas. Beliau memberi dusun kami televisi berwarna, tapi kami tolak. Kami malah minta yang hitam putih saja,” tutur Mahsun Ali, cucu H. Sirodj yang rumahnya menjadi tempat konferensi militer di tahun 1949.

Mahsun menjelaskan jika dusunnya memilih televisi hitam putih yang hemat energi.

“Kalau televisi berwarna akan memakan daya aki yang banyak. Maklum saja, saat itu dusun kami belum dialiri listrik,” jelas Mahsun kepada Warta Magelang, Minggu (22/08/2021).

Akhirnya televisi tersebut dipasang di siskamling dan menjadi hiburan tersendiri bagi warga setempat.

Kondisi dalam rumah H. Sirodj. Tiang soko tersebut menjadi saksi bisu saat Belanda membakar rumah H. Sirodj pada tahun 1949. (foto: Bagus Priyana)

Mahsun juga menambahkan jika rumah peninggalan kakeknya yang ditempatinya kini, pernah dibakar oleh Belanda.

“Ibu saya ‘menangi’ saat rumah dibakar. Beruntung tiang soko rumah masih aman sehingga rumah masih bisa diperbaiki seperti sekarang ini, ” kata Mahsun.

Kakeknya, H. Sirodj, adalah seorang pengusaha tembakau yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia.

Bahkan sesudah gencatan senjata dengan Belanda, rumahnya dijadikan konferensi para militer dan pejuang yang dihadiri oleh Kapten Sarwo Edhi, Akhmad Yani dan lebih kurang 2000 militer.

Salah satu keputusan penting di konferensi itu ialah pengangkatan R. Mukahar Ronohadiwijoyo sebagai Walikota Magelang. Kantor sementara usai dipilih sebagai walikota bertempat di rumah Mudakir, satu tempat dengan markas KDM.

“Ibu saya pernah bercerita jika pelantikan bupati/walikota Magelang di rumah Gedongan ini,” ujar Mahsun.

Dalam konferensi itu, H. Sirodj menyumbang seekor lembu/sapi dan beberapa tambak ikan gurameh.

“Tambaknya masih ada di bawah sana,” tambahnya.

Pada sekitar 5 bulan sesudah agresi militer II (awal 1949), Belanda berhasil memasukkan mata-mata ke desa ini dan kemudian dilakukan penggrebegan.

Penggrebegan dilakukan sekitar pukul 04.30 pagi hari. Dalam penggrebegan ini berhasil ditangkap H. Sirodj, Muhroji, keluarga carik Desa Bojong beserta 19 orang. Mereka dibawa ke penjara Kerkopan Magelang dan ditahan selama 40 hari.

Muhroji ditangkap usai sholat subuh di masjid. Karena tak mau memberikan keterangan tentang para pejuang, Muhroji ditangkap Belanda.

Atas pengorbanan dan perjuangan H. Sirodj, beliau pernah mendapatkan tanda jasa dari pemerintah sipil yang ditandatangani oleh Bupati Magelang Yudodibroto dan Komandan KDM Mayor Murdiman.

(bgs)

 

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)