Rekam Jejak Pers di Magelang di era Hindia Belanda, Seperti Apa?

Kios buku milik Gereformeedekerk yang digagas oleh pendeta Merkelijn tahun 1930-an. Di kios ini selain menjual buku juga menjual koran.
(Sumber: fb KOTA TOEA MAGELANG)


Hari Pers Nasional (HPN) jatuh setiap 9 Februari. Di Kota Magelang peringatan itu tak hanya dilakukan oleh para jurnalis.

Meski bukan dari kalangan pers, Padepokan Gunung Tidar di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kec. Magelang Utara, Kota Magelang, pimpinan penyair ES Wibowo, secara rutin menggelar acara itu. Tahun ini menginjak tahun ke 7.

Meski masih masa pandemi, padepokan itu tetap menggelar peringatan HPN 2021, Senin (08/02/2021). Acaranya sangat sederhana, hanya dihadiri oleh kalangan wartawan yang bertugas di Kota Magelang, Ketua RT/RW dan ES Wibowo sendiri. Tak lebih dari 15 orang.

“Tak ada gelaran kirab budaya dan pentas seni seperti biasanya karena kami mematuhi himbauan pemerintah untuk menghindari kerumunan massa,” ungkap ES Wibowo.

Mengulik sejarah, pada 9 Februari 1946, atas prakarsa beberapa wartawan yang mengadakan Kongres Wartawan di Solo, dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peristiwa pembentukan PWI ini dijadikan sebagai patokan HPN.

Persuratkabaran di Hindia Belanda sendiri sudah seabad sebelum dibentuknya PWI. Tercatat surat kabar pertama di Hindia Belanda adalah Bataviase Nouvelles, terbit pada Agustus 1744 dan tutup pada Juni 1746.

Pada 1855, di Surakarta terbit surat kabar pertama berbahasa Jawa, yaitu Bromartani, sedangkan surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Chabar Bahasa Melajoe pada 1856 di Surabaya.

Ada juga Soerat Chabar Betawi di Jakarta (1858), Selompret Melajoe di Semarang (1860), Bintang Timoer di Surabaya (1862), dan Djoeroe Martani di Surakarta (1864).

Salah satu orang yang berperan penting dalam persuratkabaran di Magelang adalah Pendeta Merkelijn yang menjadi pendeta di Gereformeede Kerk di Bajemanweg (kini Gereja Kristen Jawa Jl. Tentara Pelajar Bayeman).

Di era tahun 1930-an, Merkelijn menerbitkan sebuah surat kabar dan berhasil dengan sangat baik sehingga pertemuan para menteri Misionaris berikutnya memutuskan untuk menjadikan majalahnya ‘Zourdscourant’ untuk semua wilayah Zending dan mempercayakan kepadanya dalam pengeditan.

Dia menempatkan dua kios, satu di Muntilan dan satu di Magelang, di mana banyak orang berbicara tentang agama Kristen ketika menjual literatur Kristen. Kios yang di Magelang berada di sisi Alun-alun timur.

Selain itu ada beberapa surat kabar yang pernah terbit di Magelang pada era 1917-1942. Pangkal Kemadjoean terbit dwimingguan. Koran ini didirikan pada 1917 oleh sejumlah prajurit militer asal Minahasa yang bertugas di Magelang, yang berhimpun dalam Perserikatan Minahasa (PM).

Surat kabar Mardi Hoetomo yang terbit pada 1922, didirikan seorang pribumi dengan kantor pusat di Muntilan. Pendirinya bernama Mardi Hoetomo, mantan aktivis perhimpunan politik.

Surat kabar lokal lainnya, Mardirahardja, ditulis menggunakan bahasa Jawa dan tulisan Jawa dan terbit pada 1922–1925, termasuk suratkabar khusus kalangan umat Kristen di Jawa Tengah. Koran ini terbit setiap hari empat halaman.

Sebelum bernama Mardirahardja, koran ini bernama Ngoedi Slamet. Awal penerbitannya, dicetak 1.000 lembar dan disebarkan secara gratis kepada orang-orang di kampung-kampung oleh guru Injil, pembantu rumah tangga, dan colporteur (semacam toko buku). Bahkan oplah surat kabar tersebut yang mencapai 80.000 eksemplar pada 1937.

Lalu ada surat kabar De Zaaier dicetak untuk orang-orang yang dapat membaca tulisan berbahasa Belanda. Anggotanya adalah orang Eropa yang agamis. Surat kabar ini sebenarnya berpusat di Batavia, namun membuka cabang percetakan di Magelang dan kota-kota lainnya.

Pimpinan redaksi dipegang Mr. De Vries, beralamat di Bajemanweg Nomor 15 (sekarang Jln. Tentara Pelajar Nomor 15).

Koran Kedoe-Bode edisi 14 Januari 1939 yang pernah terbit di Magelang. (Dok: koleksi Bagus Priyana)

Kedoe-Bode menjadi koran lokal yang eksis pada era 1930-an. Alamat redaksi di Badaan Noord Nomor 10 (sekarang Jln. Pahlawan Kelurahan Potrobangsan). Pemberitaannya banyak memuat tentang peristiwa di Magelang dan terbit dengan memakai bahasa Belanda.

Selain surat kabar, di Magelang juga beredar majalah, di antaranya Magelang Vooruit yang diterbitkan oleh Perkumpulan Magelang Vooruit. Perkumpulan ini dibentuk pada 1935, dipimpin Nessel van Lisaa, Wali Kota/Burgemeester Magelang saat itu.

Majalah lainnya Maandblad Vereeniging van Huisvrouwen diterbitkan perkumpulan wanita Vereeniging van Huisvrouwen Magelang, salah satu cabang perkumpulan dengan pusatnya di Bandung.

Persuratkabaran yang pernah terbit di Magelang ini membuktikan jika kota kecil ini memiliki peran penting bagi sejarah persuratkabaran di negeri ini, khususnya di era Belanda.

Di masa kini, persuratkabaran mengalami tantangan yang sangat berat. Adanya kemajuan teknologi, surat kabar bisa dinikmati melalui genggaman tangan dengan telepon pintar.

Surat kabar cetak semakin sedikit peminatnya. Koran-koran dinding semakin sedikit pembacanya, tak ada lagi diskusi antar pembaca menyikapi berita di hari itu. Dan (bisa jadi) semakin tersisih dengan adanya media on line. Sampai kapankah (surat kabar cetak) bertahan?
(bgs)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)