Menghimpun Kembali Warisan Nusantara di Diskusi Manuskrip Merapi Merbabu FLG XXIII
MAGELANG (wartamagelang.com) – Rangkaian Festival Lima Gunung (FLG) XXIII dilanjutkan dengan Diskusi Naskah Merapi Merbabu yang diselenggarakan di Studio Mendut, Mungkid, Magelang. Kegiatan ini dilaksanakan pada Jumat, 20 September 2024.
Dengan tajuk utama Pentas Diatonis yaitu singkatan dari Dialog dan Tontonan Mringis, pokok acaranya adalah Diskusi Naskah Manuskrip Merapi Merbabu. Pada diskusi ini terdapat pembicara Dr. Sudibyo Prawiroatmodjo, M.Hum. (pakar filologi dari Univesitas Gadjah Mada), Ismanto Merapi seorang pematung, dan Kang Rendra Agusta dari Sraddha Institute Surakarta. Sedang Moderator digawangi oleh Novian dari Sedalu Art and Culture Boyolali.
Sebelum acara Diskusi Manuskrip Merapi Merbabu terdapat perfrmance menarik yang ditampilkan. Mulai dari tari yang dibawakan oleh Francis El Nathan, penari cilik yang kolaborasi tari cakil dan tari kontemporer dengan Shuko Sastro Gending dengan poppin’ dancenya.
Kemudian ada pentas dari Giri Guru, Gotong Wasiro, Grinus, Tridhatu, Vickimentari, Saung Suara, Adam Jordan dan Soreng Dhom Sunthil.
Dalam diskusinya Dr Sudibyo menyatakan bahwa katalog Alm. Kartika Setyawati dulu mencatat 600 Naskah Merapi Merbabu, dan kini ada tambahan 400 naskah, sehingga total diperkirakan 1000 naskah Merapi Merbabu tersebar di seluruh dunia.
““Ini memang mengundang peneliti, para pewaris, para ajar saya rasa. Penting sekali ada yang mencoba menggali naskah-naskah warisan leluhur mereka karena naskah masif itu sangat kaya. Tidak ada alasan untuk mengabaikan warisan ini,” kata Sudibyo.
Sedang Kang Rendra Agusta menambahkan “Ada satu nama di kolofon, ada nama Argawana. Dia berada di Pamrihan (Merbabu) dan Merapi, (dari) desa itu bisa lihat dua gunung. Ternyata secara dialek, masyarakat Merapi Merbabu itu selalu bisa bergeser, misalnya kata ‘Arga’ itu bisa ‘Pergo’. Jadi dulu puncak Saren itu namanya ‘Pergowati’, ‘Argowati’, ‘Argodalem’, ‘Pergodalem’. Ternyata ‘Argawana’ itu kemudian menjadi ‘Krogowanan’ itu,”
Ismanto Merapi juga mengatakan ini merupakan hal yang sangat penting dan baru menurutnya, karena didalamnya banyak yang didapat bagi masyarakat gunung dan masyarakat pada umumnya, baik dari ilmu perbintangan, ilmu seni budaya atau apapun itu.
“Kalo ini tidak diwartakan secara keakar rumput, ini menjadi makanan yang tidak terkonsumsi, mati ora urip ora,” ujar Ismanto.
Saat ini naskah Merapi Merbabu tersimpan di Perpusnas RI sebanyak 589 naskah, 1 naskah (belum ditulis di katalog tahun 2002) Primbon Padukunan di Perpusnas Jakarta, 1 naskah tetap menjadi pusaka di desa Kedakan, Kenalan, Pakis, Magelang, 1 naskah diinformasikan ditemukan kembali di desa Jinengdalem Bali, 30 September 2019, 11 naskah di Berlin Jerman, 1 naskah di KITLV Belanda, dan 1 naskah di British Museum.
Teks Merapi Merbabu tak hanya berasal dari Merapi Merbabu, tapi ada juga yang berasal dari gunung lain seperti Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, Gunung Lawu, dan lain-lain. Terdapat juga bagunan di sekitar Wana-Mandala Merapi Merbabu seperti patapan, pengajaran, pangubonan, pangabetan, pasraman, dan batur. Saat ini desa yang dijadikan sebagai pengajaran Merapi Merbabu yaitu Kedakan, Pakis, Deles, Patemon, Selo, dan masih banyak lagi.
Terpisah, Sutanto, mengatakan Studio Mendut telah berdiri 40 tahun dan memiliki manajemen yang khusus, spontan, dan improvisasi, berbeda dengan kampus, pemerintahan, atau lembaga yang lain. Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan diskusi ini sudah dilakukan sebanyak 8 kali pada bulan ini.
“Kamu belajar seni, belajar politik, belajar partai politik, kalian harus mengerti sastra, mengerti kepujanggaan, mengerti bahasa, harapan saya ya agar kalian-kalian generasi anak muda maju,” pungkasnya. (mg5/mg6/mg7/wq)
Penulis :
Lukluk Shafwatu Niswa
Muhammad Rizki Adhi
Fauziah Dwi Febriyanti
Editor : Freddy Sudiono Uwek