Mencari Jejak Eks Tentara Jepang yang Bergabung dengan Indonesia di Magelang
Usai Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, Sekutu memberikan ultimatum kepada tentara Jepang di Indonesia untuk segera meninggalkan Indonesia hingga Mei 1946.
Bila tidak, mereka akan dihukum mati. Panglima Besar Tentara Jepang Ke-16 Mayor Jenderal Mabuchi juga mengeluarkan selebaran yang berisi bahwa tentara yang desersi diminta kembali ke markas Jepang atau tentara Indonesia terdekat hingga 15 Juni 1946. Bila tidak, mereka akan dihukum mati.
Tak sedikit tentara Jepang yang tak mematuhi perintah Mabuchi. Tak sedikit yang memilih harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pedang) atau justru bergabung dengan Indonesia.
Dengan bergabung dengan Indonesia, para tentara desersi ini justru bisa membantu perjuangan Indonesia dan membalas dendam kepada Sekutu yang telah menghancurkan Jepang dengan bom atom (Hiroshima dan Nagasaki).
Eiichi Hayashi menyebutkan, dari data Yayasan Warga Persahabatan (YWP), seusai Perang Dunia II, tercatat 903 orang bekas tentara Jepang ikut perang kemerdekaan RI. Dari jumlah itu, 288 orang (32 persen) hilang, 243 orang (27 persen) gugur dalam perang, dan 45 orang (5 persen) kembali ke Jepang pada 1950.
“Sisanya, 342 orang (36 persen) memilih tetap tinggal di Indonesia sebagai warga negara Indonesia (WNI),” terang Eiichi.
Salah satu eks tentara Jepang yang bergabung dengan Indonesia adalah Mitsuyuki Tanaka. Tanaka lahir pada 1921 dengan menjadi tentara pelajar dan bertugas di Manchuria pada 1939.
Tanaka memiliki pengalaman tempur yang baik. Ia pernah bertugas di Taiwan, Filipina, Singapura, Thailand, Kalimantan, Surabaya, Flores dan Irian Barat.
Pada 1945, Tanaka masuk ke Jakarta. Usai Jepang menyerah, Tanaka bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Magelang di bawah komando Letkol Sarbini dengan pangkat Sersan. Ia pun memiliki nama Jawa yakni Sutoro.
“Ceritanya, bapak saya itu dalam masa istirahat di Magelang usai perang di berbagai kota. Tapi saat di Magelang, Jepang malah kalah perang dan menyerah pada Sekutu,” ungkap Sugiyon Tanaka, putra Mitsuyuki Tanaka, saat diwawancarai Warta Magelang di rumahnya di Jl. Kalingga kawasan Sablongan Kota Magelang, Selasa (9/11/2021).
Saat bergabung dengan BKR, Tanaka melatih para pejuang agar terampil dalam penggunaan senjata dan strategi perang. Pengalamannya sebagai tentara yang bertugas di berbagai tempat, sangat membantu dalam meningkatkan keahlian para pejuang Indonesia.
Pada peristiwa Palagan Magelang (31 Oktober-2 November 1945), Tanaka memiliki peran penting saat melawan Inggris dan Gurkha.
“Bapak saya naik ke Watertoren (Menara Air Minum) di Alun-alun. Memembaki tentara Gurkha yang bermarkas di Suzteran dengan Watermantel. Ndilalah, saat menembaki, senjatanya macet. Ayah saya lalu turun ke bawah menuju ke Gereja Protestan. Lalu kembali lagi naik ke Watertoren,” tutur Sugiyon.
Nasionalisme Tanaka di uji kala pada 25 September 1945 masyarakat Magelang berbondong-bondong naik ke atas Gunung Tidar untuk mengibarkan bendera merah putih.
Usai pengibaran, tentara Jepang yang ada di markas Ken Pei Tai di Jl. Tidar (kini SMK Wiyasa), secara membabi buta menembaki masyarakat yang sedang turun. Akibatnya 5 orang gugur.
Tanaka tak tinggal diam, ia pun menembaki markas Ken Pei Tai.
“Bapak saya menembaki tentara Jepang itu,” ujar Sugiyon Tanaka.
Tanaka juga pernah mengalami hal yang memedihkan hatinya kala pada akhir Oktober 1945, sebanyak 7 truk tentara Kido Butai Jepang yang bermarkas di Jatingaleh Semarang – karena hasutan tentara Inggris di Magelang – menyerang markas BKR (Badan Keamanan Ralyat) dan dapur umur di Kampung Tulung. Akibatnya 42 orang gugur.
Hasutan itu adalah bahwa sejumlah tentara Jepang yang ada di Magelang dibunuh oleh pejuang Indonesia.
“Bapak saya yang memberi tahu kepada tentara Jepang jika hal itu – pembunuhan tentara Jepang di Magelang – tidaklah benar,” kata Sugiyon Tanaka.
Akhirnya tentara Jepang itu pun kembali ke Semarang.
Selain Mitsuyuki Tanaka, ada beberapa eks tentara Jepang yang bergabung dengan Indonesia di Magelang yakni J. Watanabe alias Winoto, Hanawe alias Sudjono, Noboru Sato alias Muhammad.
“Satunya lagi tinggal di Cilacap, saya lupa namanya,” katanya.
J. Watanabe alias Winoto berpangkat sersan dan menjadi staf di bengkel. Watanabe gugur pada 24-12-1948 dan dimakamkan di TMP Giridarmoloyo Magelang dengan nomer register B-254.
Hanawe alias Soedjono bergabung di Laskar Rakyat. Gugur pada 25-3-1947 dan dimakamkan di TMP Giridarmoloyo dengan nomer register A-36.
Noboru Sato alias Mohamad berpangkat terakhir Letnan Dua bergabung dengan Batalyon Kuda Putih di bawah Akhmad Yani (kelak menjadi pahlawan Revolusi) pada Brigade 9 Divisi 3. Lahir pada 1922 dan gugur pada 1949.
Awalnya, makam Sato di TPU Cemara Tujuh Kel. Kedungsari Magelang. Lalu pada tahun 1989, Mitsuyuki Tanaka alias Sutoro mengirimkan surat kepada Kodim Magelang – dengan mengetahui Ketua DPD Pepabri Jateng dan mantan Komandan BKR Magelang 1945 Suryosumpeno – untuk memindahkan makam Sato ke TMP Giridarmoloyo.
Kini Sato sudah dimakamkan di TMP Giridarmoloyo (Cawang) dengan nomer register 237.
Sedangkan Mitsuyuki Tanaka alias Sutoro meninggal pada 1 Agustus 1998 dan dimakamkan di TMP Giridarmoloyo (Cawang) dengan nomer register 319. (bgs)