Makan Gratis untuk Siswa: Solusi Pendidikan atau Beban Baru?
Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang menarik perhatian publik adalah penyediaan makanan bergizi gratis untuk anak sekolah dan ibu hamil. Program ini bukan hanya menjawab kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga mencerminkan keseriusan pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang unggul sejak dini. Dengan target 82,9 juta penerima manfaat dan alokasi anggaran awal sebesar Rp71 triliun pada 2025 (yang akan meningkat menjadi Rp171 triliun), program ini berpotensi menjadi tonggak penting dalam menurunkan angka stunting dan mendorong kemajuan kualitas gizi anak-anak Indonesia.
Kebijakan makan gratis yang menjadi salah satu program unggulan Presiden terpilih Prabowo Subianto menuai banyak perhatian publik. Dalam narasi besar, program ini bertujuan memastikan seluruh siswa di Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak demi mendukung tumbuh kembang dan prestasi belajar. Namun, di balik semangat baik tersebut, muncul pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar solusi bagi dunia pendidikan, atau justru akan menjadi beban baru dalam sistem yang sudah kompleks?
Dari sisi positif, program ini dapat menjadi pendorong utama peningkatan kualitas pendidikan, terutama bagi siswa di daerah tertinggal atau dari keluarga prasejahtera. Gizi yang baik terbukti berkontribusi terhadap konsentrasi dan semangat belajar anak. Tidak sedikit anak yang datang ke sekolah dalam kondisi lapar, yang berdampak pada kemampuan mereka menerima pelajaran. Dengan adanya makan gratis, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi ruang pemenuhan kebutuhan dasar siswa.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat membantu menekan angka putus sekolah. Di banyak daerah, kendala ekonomi masih menjadi alasan utama anak-anak tidak bersekolah. Jika sekolah menyediakan makanan bergizi secara rutin, maka itu bisa menjadi insentif tambahan bagi orang tua untuk tetap menyekolahkan anak mereka.
Namun di sisi lain, ada sejumlah tantangan besar yang tidak boleh diabaikan. Pertama, persoalan logistik dan distribusi. Indonesia bukan hanya Jakarta atau kota besar. Ribuan sekolah di pelosok daerah memiliki tantangan akses, infrastruktur, hingga ketersediaan dapur dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola makan harian siswa. Tanpa perencanaan dan pengawasan yang ketat, program ini berisiko tidak tepat sasaran atau bahkan menimbulkan masalah baru di lapangan.
Kedua, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat membebani guru dan tenaga pendidik, yang selama ini sudah dipenuhi berbagai tugas administrasi. Jika pengawasan atau pelaksanaan makan gratis ini menjadi tambahan tanggung jawab mereka, bisa jadi fokus utama pada kegiatan belajar mengajar akan terganggu.
Ketiga, program ini bisa saja menyerap anggaran besar, yang jika tidak diimbangi dengan reformasi pendidikan lainnya seperti peningkatan kompetensi guru, penyediaan sarana belajar, dan pembenahan kurikulum maka manfaatnya menjadi kurang maksimal. Pendidikan bukan hanya soal kenyang, tapi juga soal mutu dan arah pembentukan karakter serta kecakapan abad 21.
Makan gratis untuk siswa tentu bisa menjadi terobosan baik jika dijalankan dengan perencanaan matang, transparansi anggaran, dan sinergi antarlembaga. Namun, pemerintah juga harus terbuka terhadap masukan publik dan siap mengevaluasi kebijakan secara berkala. Jangan sampai program ini hanya menjadi pencitraan politik jangka pendek, tanpa hasil jangka panjang yang nyata bagi kualitas pendidikan Indonesia.
Penulis Opini : Vira Syafira
Editor: Freddy Sudiono Uwek
(wq)