Loji Manggoran, Rumah Bersejarah bagi Pemerintahan Kabupaten Magelang yang Terlupakan
MAGELANG (wartamagelang.com) – Momen di bulan Agustus selalu identik dengan kisah-kisah perjuangan, baik yang dilakukan oleh pemerintahan militer, pemerintahan sipil maupun rakyat.
Peristiwa, tempat maupun waktu, bisa jadi penanda yang kini menjadi sebuah sebuah sejarah. Sebagaimana dengan Loji Manggoran yang terletak di Dusun Manggoran, Desa Bondowoso Kec. Mertoyudan Kab. Magelang yang memiliki nilai penting bagi pemerintahan sipil Kabupaten Magelang.
“Bupati Magelang Yudodibroto pernah tinggal di sini sekitar 3-4 bulan di tahun 1948,” ungkap Ahmad Masduki, pemilik rumah Loji Manggoran saat ditemui secara khusus wartamagelang.com Minggu Kliwon (22/08/2021).
Menurutnya, rumah peninggalan kakeknya yang bernama H. Ahmad Marzuki itu dibangun pada tahun 1947. Bangunan dengan 2 rumah itu berukuran sekitar 25×28 meter.
Disebut loji karena rumah ini memang beda dari rumah sekitarnya. Gaya dan kondisi bangunan pun benar-benar terlihat bukan sembarang rumah.
Kakeknya yang seorang pedagang tembakau, membuat rumahnya dengan bahan berkualitas. Bangunannya terbuat dari bata tebal, pintu dan jendela dari kayu jati yang didatangkan dari Tulungagung. Batu kapur untuk campuran semen didatangkan dari Nganjuk.
Ahmad Masduki menceritakan jika pemerintahan sipil Kab. Magelang terpaksa berpindah-pindah tempat karena saat itu, Kota Magelang dikuasai oleh Belanda saat Clash II (Agresi Militer Belanda II) pada 21 Desember 1948. Sebelum di Manggoran, pemerintah sipil Kab. Magelang pernah berada di Desa Suronalan Kec. Sawangan.
“Perpindahannya mengikuti perpindahan dari Pemerintahan Militer. Jadi kalau KDM (Komando Distrik Militer) pindah, maka bupatinya ya ikut pindah. Hal ini diatur dengan situasi yang ditentukan oleh pemerintahan militer” tuturnya.
Pemerintahan militer (KDM) saat itu bermarkas di Dusun Gedongan Kulon, tak jauh dari Manggoran. Komandan KDM dipimpin oleh Mayor Murdiman.
Masduki menjelaskan jika Bupati Yudodibroto menempati ruang tamu depan sebagai kantornya bersama kepala polisi dan kamar depan sebagai tempat tidurnya. Di ruang tamu masih terdapat meja kursi yang dulu pernah dipergunakan oleh Bupati Yudodibroto.
Sedangkan Pengulon menempati rumah milik kakeknya yang ada di sebelah baratnya.
“Sedang keluarga kakek saya ‘ngalah’ dengan menempati rumah bagian belakang,” katanya.
Selama bermarkas di Loji Manggoran, H. Ahmad Marzuki menjamin pegawai dan pengungsi berupa nasi ransum sebanyak 2 kali sehari (pagi dan sore).
“Setiap hari dikeluarkan beras sebanyak 2 dangan (sekitar 20 kg),” imbuhnya.
Masduki menambahkan jika saat jatah makan tiba, kentongan dibunyikan sebagai isyarat jika makan sudah siap. Setiap yang mau makan harus menukarkan ‘girik’.
Kakeknya, bersedia membantu pemerintahan sipil Kab. Magelang dikarenakan panggilan jiwa dan semangat nasionalisme.
“Ini panggilan jiwa dan nasionalisme bagi perjuangan republik,” tegas Masduki.
Karena banyaknya orang yang mengungsi di Manggoran, termasuk pemetintahan sipil maka menjadikan dusun kecil yang tadinya sepi menjadi ramai. Pemerintahan sipil di Manggoran merupakan masa petalihan sebelum masuk ke Magelang.
Selama pemerintahan sipil Kab. Magelang berada di Manggoran, Belanda belum pernah mengadakan patroli. Padahal sebelumnya Belanda sering datang di dusun ini.
“Berkat rahmat Allah SWT sehingga dusun ini aman saat Bupati Yudodibroto tinggal di sini,” tutur Masduki.
Menurut catatan sejarah, di Manggoran inilah Bupati Magelang Yudodibroto dan Komandan KDM Mayor Murdiman menerbitkan semacam kupon yang berlaku sebagai pengganti mata uang yang sah di wilayah Magelang.
Masduki berharap, Loji Manggoran sebagai sebuah tempat yang memiliki nilai penting bagi perjuangan rakyat khususnya pemerintahan sipil Kab. Magelang, sudah seharusnya mendapat perhatian dari Pemerintah Kab. Magelang saat ini.
“Iya, harusnya Pemkab Magelang lebih peduli dengan tempat ini. Bagaimanapun juga, tempat ini pernah menjadi bagian sejarah penting bagi Pemkab. Magelang,” pungkasnya (bgs/aha/wq)