Beda dari Sebelumnya, Tahun Ini Pameran Foto Menjadi Pembuka FLG XXIII
Magelang (wartamagelang.com) – 70 karya foto hasil dokumentasi disuguhkan dalam pameran foto yang bertajuk “Gumregah Bareng, Gayeng, Seneng” berarti semangat kebersamaan, meriah, dan bahagia. Pameran ini merupakan bagian dari Festival Lima Gunung XXIII yang digelar di Dusun Keron, Krogowanan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.
Empat fotografer yang tergabung dalam komunitas “Rencang Lima Gunung Ring 1/2”, yaitu Nugroho DS (Suara Merdeka), Anis Efizudin (Antarafoto), Ferganata Indra Riatmoko (Kompas), dan Gholib (inilah.com), menampilkan karya-karya mereka yang mendokumentasikan perjalanan seni budaya Komunitas Lima Gunung selama hampir dua dekade. Foto yang disajikan dalam pameran tersebut merupakan hasil kumpulan foto sejak 2006 – 2023 yang kemudian dikurasi bersama.
Pembukaan pameran foto diselenggarakan pada Rabu (25/9/2024), dihadiri oleh ketua PWI Kabupaten Magelang, rekan-rekan media, seniman Komunitas Lima Gunung, dan maestro fotografi.
Pameran yang berlangsung dari 25 hingga 29 September 2024 ini dibuka secara resmi oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Magelang, Nina Atmasari. Dalam sambutannya, Nina menyatakan apresiasi yang mendalam terhadap para fotografer yang telah konsisten menjadi bagian dari perjalanan seni budaya di Kabupaten Magelang. Ia berharap melalui event Festival Lima Gunung ini, akan lahir penulis dan fotografer-fotografer baru yang mampu mengabadikan dan menyuarakan makna dari kegiatan kesenian tersebut.
Nina Atmasari, selaku Ketua PWI Kabupaten Magelang mengatakan, apabila seniman petani selalu bisa mempertahankan dengan menyajikan konsep acara yang dinamis. Hal ini ditandai dengan adanya pembaruan di setiap Festival Lima Gunung. Festival Lima Gunung merupakan bentuk eksistensi dari seniman untuk melestarikan budaya yang ada di tlatah Magelang dan juga Festival Lima Gunung tetap mempertahankan menjadi festival yang tidak ada pendanaan darimanapun.
“Acara ini selalu mengeratkan marwahnya sebagai acara yang dilaksanakan secara swadaya, swadana, swakelola, dan swa-swa lainnya,” tutur Nina.
Pameran foto dalam Festival Lima Gunung merupakan sebuah tantangan yang diberikan kepada Indra dan ketiga rekan wartawan yang lain. Kemudian dinamai dengan Rencang Lima Gunung Ring Setengah. Istilah Ring Setengah tersebut memiliki arti apabila komunitas tersebut lebih dekat daripada orang-orang yang berada di radar ring satu Komunitas Lima Gunung.
Ferganata Indra Riatmoko yang merupakan salah satu anggota komunitas itu, mengatakan terdapat beberapa foto yang hanya dimiliki oleh salah satu dari anggota komunitas tersebut. Dengan artian tidak semua anggota komunitas tersebut memiliki foto itu. Terutama ketika masa pandemi beberapa tahun yang lalu pentas Festival Lima Gunung diadakan dengan rahasia.
“Mas besok ada pentas disini. Tolong jangan disebarkan kesiapa-siapa ini khusus untuk njenengan dan kami pun jadi kayak disumpah untuk nggak membocorkan itu ke orang lain,” ceritanya pada sambutan pembukaan.
Indra menambahkan bahwa pameran foto ini rencananya tidak hanya ditampilkan dalam bentuk pajangan saja. Namun, akan ada rencana dicetak dalam bentuk benda yang dapat digunakan.
“Nggak sekedar pameran foto yang berhenti disini, tapi nanti rencananya akan dicetak di jam, piring, atau di media lain yang bener-bener bisa dipakai,” ujar Indra.
Nugroho DS, salah satu fotografer yang turut memamerkan karyanya, menjelaskan bahwa foto-foto yang dipamerkan merupakan dokumentasi kegiatan berkesenian Komunitas Lima Gunung dari tahun 2006 hingga 2023.
“Kami telah mendokumentasikan kegiatan-kegiatan seni di lima gunung, yaitu Merapi, Merbabu, Andhong, Sumbing, dan Menoreh. Setiap foto ini menangkap semangat dan dedikasi para seniman gunung yang terus berkarya secara mandiri,” katanya.
Anis Efizudin, yang telah mendampingi komunitas seniman petani selama lebih dari 20 tahun, menegaskan bahwa pameran ini adalah bentuk apresiasi mereka kepada masyarakat dan para seniman yang telah berkarya secara mandiri selama lebih dari dua dekade.
“Pameran ini tidak hanya untuk memamerkan karya kami, tetapi juga sebagai penghormatan kepada para seniman dan pegiat seni yang telah dengan konsisten berkesenian tanpa bantuan sponsor. Ini adalah kenangan visual yang kami persembahkan untuk mereka,” ungkap Anis.
Pameran foto ini juga dibuka oleh Sutanto Mendut selaku sesepuh Festival Lima Gunung yang hadir memberikan sambutan. Pada sambutannya tersebut, beliau berharap wartawan menjadi salah satu performer di Festival Lima Gunung. Selain itu, beliau juga sampaikan pesan untuk para wartawan lapangan harus bisa jadi wartawan untuk dirinya sendiri.
“Kalian harus bersuara. Desa harus jadi jurnalisme kontemporer,” ujar Sutanto Mendut.
Keunikan dari pameran ini terletak pada lokasi dan dekorasinya. Tidak seperti pameran foto yang umumnya digelar di tempat-tempat mewah seperti mal, hotel, atau kampus, pameran ini diselenggarakan di sebuah ruangan bekas gudang genteng berdinding anyaman bambu berukuran 7 x 5 meter. Ruangan tersebut dihias dengan ornamen alami seperti pohon cabai kering, kulit jagung, dan jerami yang dibentuk menjadi karya seni yang menyatu dengan alam sekitar.
Pameran ini menambah dimensi lain dalam Festival Lima Gunung XXIII, yang selama ini dikenal dengan pementasan seni tradisionalnya. Pengunjung festival pun mendapat hiburan visual yang berharga, sekaligus edukasi tentang betapa pentingnya menjaga dan mendokumentasikan sejarah perjalanan seni budaya masyarakat pegunungan. (mg7/mg9/mg6/mg5/wq)
Penulis:
Fauziah Dwi Febriyanti
Vira Syafira
Muhammad Rizki Adhi
Lukluk Shafwatu Niswa
Editor : Freddy Sudiono Uwek