Kilas Balik 191 Tahun Penangkapan Pangeran Diponegoro (1)

SUASANA PENANGKAPAN : Lukisan tentang suasana detik-detik penangkapan licik Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock di Wisma Residen Kedu di Kota Magelang (Dok Internet)
Akhir Perang Jawa : Penangkapan Diponegoro oleh De Kock, Aib Sepanjang Masa bagi Belanda
KOTA MAGELANG (wartamagelang.com) – Hampir 191 tahun, momen peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang dilakukan Jenderal De Kock tercatat dalam sejarah. Penangkapan ini juga menjadi rangkaian peristiwa berakhirnya perang jawa.
Wisma Residen Kedu di Kota Magelang (kini kompleks Bakorwil Kedu), menjadi saksi bisu liciknya penangkapan Pangeran Diponegoro. Tepat pada 28 Maret 1830 silam, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda.
Sebelum akhir penangkapan, Pangeran Diponegoro sangat dekat dengan Jenderal De Kock. Selama interaksinya yang intensif, De Kock menjadi sadar bahwa Diponegoro tidak akan pernah menyerahkan diri tanpa syarat kepada gubernemen.
Tanggal 25 Maret 1830, atau dua hari sebelum berakhirnya bulan puasa dan tiga hari sebelum penangkapan, Jenderal De Kock memerintahkan secara rahasia dua orang pejabat infanteri seniornya, Letkol Louis du Perron dan Mayor A.V. Michiels, agar menyiagakan tangsi-tangsi militer untuk menjamin penangkapan Diponegoro.
“Siaga ini termasuk: memasangi semua kuda dengan pelana dan menyiapkan senjata, agar sewaktu-waktu diperintahkan, pasukan Belanda segera dapat bergerak dengan perlengkapan penuh,” kata Bagus Priyana dari Komunitas Kota Toea Magelang beberapa waktu lalu.
Menurut Bagus, dari data sejarah yang ada, pada tanggal 28 Maret 1830 adalah hari Minggu. Pagi-pagi, De Kock memerintahkan penggandaan jumlah pasukan pengawal berseragam dan bersenjata lengkap di Wisma Residen Kedu.
Bagus mengutarakan, jumlah pasukan pengawal yang berlipat tidak menimbulkan kecurigaan di pihak Diponegoro. Dikarenakan, ada kebiasaan di hari Minggu ketika itu ada lebih banyak pasukan Belanda di sekitar Wisma Residen untuk mengikuti arak-arakan.
Selain melipatgandakan jumlah pasukan pengawal di Wisma Residen Kedu, De Kock juga memerintahkan pasukan hussar resimen ke-7 segera dikirimkan ke Bedono di perbatasan Kedu-Semarang.
“Pasukan ini disiagakan untuk mengambilalih pengawalan tahap terakhir perjalanan Diponegoro ke Semarang,” jelasnya.
Bagus mengemukakan, kereta kuda Residen Kedu juga disiagakan di sekitar Wisma Residen untuk segera memberangkatkan Diponegoro ke Semarang. Para pejabat lain yang tidak mendapat perintah khusus diperintahkan berkumpul di beranda depan Wisma Residen untuk mengawasi para pengikut Diponegoro.
“Agar tidak disadari para pengikut Diponegoro, cara para pejabat tersebut mengawasi adalah dengan mengajak bercanda mereka,” ungkapnya.
Bagus menjelaskan, para pengikut Diponegoro yang lain duduk di kursi tepat di balik dinding ruangan yang dapat dilihat dari dalam ruang baca oleh Diponegoro. Sedang di pihak Belanda, yang turut duduk di dalam ruang baca bersama De Kock meliputi: Letkol W. A. Roest, Mayor-Ajudan De Steurs (perwira staf De Kock), J. J. Roeps (Juru bahasa Jawa), dan tentu saja Valck (Residen Kedu).
Di luar ruang baca, Letkol A. de Kock van Leeuwen (komandan artileri medan), Mayor Johan Jacob Perie (komandan pasukan kavaleri) sesuai perintah De Kock mengawasi para pengikut Diponegoro dan menyibukkan mereka dengan percakapan ‘ramah tamah’.
“Para pengikut Diponegoro digambarkan terlihat sangat santai karena De Kock dan para pejabat Belanda bersikap tidak berbeda dari biasanya,”imbuh Bagus.
Bagus meenuturkan, dari beberapa literasi dan data sejarah yang ada, selama proses pembicaraan di dalam ruang baca, Jenderal De Kock digambarkan sering menunduk dan tidak menatap Diponegoro, khususnya setelah De Kock menyatakan menahan Diponegoro.
“Meskipun demikian, ketika sedang berbicara, De Kock terdengar tetap tegas. Pembicaraan detil antara De Kock dan Diponegoro selama perundingan, dikisahkan oleh Peter Carey dalam buku karyanya Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan AKhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 halaman 814-821,” sebut Bagus.
Bagus menguraikan, setelah pembicaraan panjang lebar disertai kemarahan Diponegoro karena merasa dikhianati oleh De Kock, maka De Kock memerintahkan perwira staf Letkol Roest keluar ruang baca untuk menyampaikan kepada Letkol Du Perron agar menggerakan pasukannya dari tangsi-tangsi mereka ke Wisma Residen. Selain itu, Bagus menyebut bahwa, Mayor Michiels juga menggerakkan pasukan gerak-cepatnya menuju Metesih untuk melucuti para pengikut Diponegoro yang ketika itu sedang berolahraga pagi.
“Setelah para pengikut Diponegoro yang ada di Metesih dilucuti, maka kemudian 100 orang pengikut Diponegoro yang turut hadir di Wisma Residen juga dilucuti,”jelasnya.
Bagus menceritakan, para komandan pasukan Diponegoro yang duduk-duduk santai di beranda Wisma Residen diminta menyerahkan keris mereka. Seorang diantara mereka, yaitu Imam Musbah, diikat dengan rantai.
Setelah itu, tutur Bagus, kereta kuda telah siap di depan Wisma Residen. Sebelum akhirnya digiring keluar ruang baca, Diponegoro mengambil secangkir teh.
“Diponegoro naik ke kereta kuda yang telah disiapkan. De Kock membolehkan jika istri dan anak-anak Diponegoro mau ikut. Tetapi di dalam kereta kuda itu Diponegoro ditemani hanya oleh satu pengawalnya, Joyosuroto,” ucap Bagus (wq/had)