Hotel Jujur yang Tidak Mujur

Kolase foto Hotel Jujur, dari papan nama, pembongkaran genteng sampai pegerahan alat berat (Foto: Bagus Proyana, Chandra Gusta Wisnuwardana, Cahyono Edo Santosa.

Kolase foto pembongkaran Hotel Jujur, dari papan nama, pembongkaran genteng sampai pengerahan alat berat (Foto: Bagus Priyana, Chandra Gusta Wisnuwardana, Cahyono Edo Santosa)

KOTA MAGELANG (wartamagelang.com) – Kabar duka datang dari pecinta dan pelestari bangunan tua di Magelang. Kabar perdana datang dari Chandra Gusta Wardana, dalam akun facebook-nya pada tanggal 21 Februari 2021, nampak gambar sebuah bangunan yang sedang dibongkar atapnya.

Dalam narasi yang menerangkan tentang gambar itu, Chandra bercerita bahwa bangunan yang pernah dipakai untuk penginapan dengan nama “Hotel Jujur” itu, sudah berdiri sejak jaman kolonial. Diperkirakan rumah itu pernah dimiliki oleh Jansen. Kemudian tercatat sebagai “Hotel Jujur” sejak 2 Februari 1982, kemudian direnovasi menjadi rumah makan bebek dan bakso pada tahun 2016, kemudian menjadi kantor CV, dan akhirnya bangunan yang berada di Jalan Tidar no 44 ini dirubuhkan.

Hal senada disampaikan oleh Bagus Priyana, yang terkenal dengan julukan Gubernur KTM (Kota Toea Magelang). Salah satu penggiat bangunan dan heritage terkenal dari Kota Magelang. Bagus juga membuat statement: “Dengan alasan belum memenuhi kriteria sebagai cagar budaya karena tidak ada nilai sejarahnya, bangunan eks Hotel Jujur di Jl. Tidar 44 yang sudah ada dan tercantum di peta Staadskart Magelang tahun 1923 (hampir 100 tahun lalu), diambrukkan.”  Bagus nampak menunggui proses pembongkaran hari ini (25/2/2021) yang memakai alat berat itu sampai selesai. hal itu bisa dilihat dari update foto di fb nya.

Peta Staadskart 1923 dimana Hotel Jujur berada dalam lingkaran merah, sumber : Universitas Leiden (Denmaz Diddotte)

Peta Staadskart  Magelang 1923 dimana Hotel Jujur berada dalam lingkaran merah, Sumber : Universitas Leiden (Denmaz Didotte)

Ketua Komunitas Pinggir Kali, Muhammad Nafi menambahkan lewat daring bahwa: untuk nilai sejarah yang masuk dalam kategori intangible heritage yang umumnya ada pada warisan budaya seperti musik, sastra lisan, pantun , ritus dan sejenisnya. Sedang bendanya masuk ke tangible heritage seperti bangunan tua, prasasti, candi-candi dan sejenisnya yang bersifat artefak atau situs. Keduanya merupakan pusaka yang bisa berdiri sendiri juga bisa saling mengisi satu dengan lainnya. Keduanya juga sudah ada aturannya masing masing yang tercantum dalam UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

“Bicara tentang nilai terutama nilai sejarah pada sebuah cagar budaya, sejatinya bukan hanya nilai sejarah apa yang melekat pada bendanya semata tetapi juga nilai nilai bagaimana generasi penerus menyikapi peninggalan2 generasi yang lebih tua sehingga muncul apa yang disebut perlindungan, pelestarian, maupun pendayagunaan fungsi dari sebuah cagar budaya yang mengikuti perkembangan jaman.” tambah Muhammad Nafi.

Sedang Budayawan Condro Bawono, emeritus ketua DKKM yang terkenal dengan panggilan mBilung Sarawita cuma bisa menyesali kejadian itu.

“Kalau itu memang milik pribadi, dan si pemilik memang tidak punya jalan lain, ya kita harus maklum, walau diiringi rasa sedih,” katanya melalui pesan pendek di chat WA.

Tampalan tapak antara citra satelit dengan peta lama tahun 1923 dan hasilnya masih 95% lebih sesuai dan sama/asli. Foto: Toni Disdikbud

Tampalan tapak antara citra satelit dengan peta lama tahun 1923, dan hasilnya masih 95% lebih sesuai dan sama/asli. Foto: Toni Disdikbud

Yustinus Toni Tri Handoko, S.Sn. Kasi Sejarah Dan Kepurbakalaan Disdikbud kota Magelang menerangkan melalui chat WA bahwa umur bangunan diperkirakan telah berdiri sebelum Tahun 1923. Pihaknya, kata Toni, melakukan tampalan tapak antara citra satelit dengan peta lama tahun 1923 dan hasilnya masih 95% lebih sesuai dan sama/asli.

“Hasil survey dan wawancara kami, Pemilik bangunan adalah warga Solo/Surakarta; Rencana akan dibongkar seluruhnya; Belum ada informasi rencana peruntukan bangunan/lahan barunya nanti; Sejarah bangunan merupakan Hotel Jujur (izin gubernur tahun 1982) namun sebelumnya tahun 1977 sudah dikenal sebagai losmen Jujur (saksi hidup), tahun pendirian sebelum 1923,” kata Toni.

Toni menerangkan, dari tiga kriteria bangunan cagar budaya, (usia, ciri khas masa tertentu, nilai sejarah), hanya dua yang nampak, nilai sejarah tidak ada informasi yang dapat dibuktikan.

Untuk hasil pengamatan fisik bangunan, kata Toni, tidak ada ciri-ciri bangunan penting pada masanya, antara lain: dimensi kusen kayu, tapak bangunan, bentuk ruang. Bahan bangunan sendiri, menurut Toni, menyerupai spek teknis bangunan kolonial tetapi tidak ada ciri khas produk kolonial.

“Diantaranya, batu-bata yang dipakai tidak memiliki ciri buatan belanda, disinyalir dibuat menyerupai spek teknis pada masa itu tapi oleh tenaga lokal. Kemudian lantai ubin tidak memiliki motif/polos yang mencirikan bahwa bangunan bukan bangunan penting/pemerintah pada masa kolonial,” imbuhnya.

Toni juga menyebut bahwa kondisi bangunan saat ini sangat berbahaya, karena konstruksi bata sudah lepas, yakni dapat dicopot dengan tangan dan acian dinding sudah rontok. Sehingga, kata Toni, berpotensi runtuh dan membahayakan.

“Oleh karena tiga point itu, maka dianggap tidak memenuhi Undang-undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010,” pungkas Toni.

Dari penelusuran tim wartamagelang.com, bangunan ini pernah ditempati oleh almarhum bapak Sukotjo, yang mempunyai ibu yang terkenal dengan panggilan Bu Beder, karena kerjasama dengan orang Belanda waktu rumah itu sebagai Kantor Penggadaian (wq/aha)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)