Memandirikan Orang Rimba, Menyongsong Masa Depan lewat Pendidikan

PEMUTARAN FILM : Film Pulang Rimba diputar di rangkaian kegiatan Inklusi Goes to Campus di Universitas Jambi, Kota Jambi, Provinsi Jambi (Dok Foto KPP)

JAMBI (wartamagelang.com) Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau disebut Orang Rimba saat ini menghadapi tantangan baru. Hutan sebagai sumber daya alam (SDA) tempat mereka bertahan hidup dari berburu dan meramu, kondisinya makin sempit.

Untuk itu, pendidikan jadi salah satu solusi menyongsong masa depan Orang Rimba. Hal itu jadi materi diskusi film “Pulang Rimba” karya Kreasi Prasasti Perdamaian yang digelar di Universitas Jambi (Unja) Provinsi Jambi, beberapa waktu yang lalu.

Film dokumenter itu sendiri mengisahkan pemuda Orang Rimba bernama Mt. Pauzan, 24, yang kini menempuh pendidikan di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor, duduk di semester 5.

Pada diskusi yang merupakan rangkaian kegiatan dari gelaran bertajuk “Inklusi Goes to Campus” digelar Pundi Sumatra yang didukung Kemitraan Partnership.

Pada kegiatan itu pula hadir Orang Rimba lainnya yang kini juga menempuh pendidikan tinggi. Adalah Bejujung, 23, dan Besiar, 23, berkuliah Agribisnis Fakultas Pertanian Unja. Hadir pula Juliana, 21, yang kini berkuliah di Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi.

Pauzan tinggal di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sementara Bejujung dan Besiar tinggal di Permukiman SAD Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Sementara Juliana tinggal di Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bhakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Sutradara film Pulang Rimba, Rahmat Triguna alias Mamato, mengemukakan alasan memfilmkan kisah para Orang Rimba ini berangkat dari empatinya.

“Jadi film yang kami buat untuk pemantik diskusi, di film Pulang Rimba yang pertama karakter utamanya adalah Pauzan, kami menyebut sebagai credible voice. Kenapa Pulang Rimba, karena Pauzan nantinya kalau sudah lulus akan kembali ke kampungnya, membangun pertanian lebih modern dari ilmu yang didapatnya saat berkuliah,” kata Mamato.

Mamato menuturkan, film itu diselesaikan pada akhir 2022 lalu, berangkat dari riset sekitar 3 bulan. Bonding trust alias membangun kepercayaan dengan Orang Rimba hingga mau difilmkan jadi tantangan tersendiri di proses pembuatannya.

Saat ini, Mamato dan timnya, diproduseri Anisa Triguna, kini sudah sepekan lebih berada di Provinsi Jambi untuk proses pengambilan gambar untuk film Pulang Rimba sekuel selanjutnya. Mamato melihat, baik Pauzan, Bejujung, Besiar ataupun Juliana punya dinamika hampir sama.

Mereka “melawan” adat dengan bersekolah hingga pendidikan tinggi. Apalagi bagi Juliana, perempuan Orang Rimba, kebanyakan sebayanya bahkan usia di bawahnya kini sudah menikah dan punya anak.

Ditemui terpisah di Bogor akhir Februari lalu, Pauzan sempat mengemukakan berkuliah di perguruan tinggi rata-rata orangtua mereka tidak bersepakat.

“Karena pasti merantau jauh, jadi pendidikan dianggap bisa memisahkan keluarga,” kata Pauzan.

Namun, dengan tekad yang kuat untuk mengubah nasib, Pauzan, Bejujung, Besiar maupun Juliana rela meninggalkan komunitasnya untuk berkuliah. Mereka punya harapan, setelah lulus, akan kembali ke komunitas Rimbanya dan membangun pertanian di sana.

CEO Pundi Sumatra Dewi Yunita Widiarti, mengemukakan sejak lama pihaknya melakukan pendampingan bagi Suku Anak Dalam yang bermukim di Kawasan Lintas Tengah Sumatra.

“Komunitas ini punya daya tangguh, survive, namun SDA makin tipis. Mau nggak mau kita harus bantu mereka bertahan. Caranya? Diperkenalkan dengan skill, ada sumber penghidupan yang lain selain berburu dan meramu,” kata Dewi yang asli Bali ini.

Hari ini, selain akses pendidikan tinggi, sebut Dewi, pihaknya juga melakukan pendampingan lainnya untuk kemandirian Orang Rimba. Misalnya; budidaya ikan kemudian diolah jadi ikan asap. Dewi menyebut di Dusun Kelukup di Kabupaten Bungo itu sudah beberapa kali panen ikan.

“Mereka 1,5tahun ini sudah ada produk olahan ikan asap, higienis dan halal dari MUI, ada uang kasnya, sekarang Rp16juta. Ini produk olahan pertama, yang kita dorong adalah perubahan sosial, bukan perubahan fisik. Tujuan akhir pemberdayaan adalah memandirikan bukan menumbuhkan ketergantungan,” bebernya.

Akademisi dari Unja, Fuad Muchlis, berkata senada. Orang Rimba mau tidak mau kini harus beradaptasi dengan perubahan karena SDA makin menipis.

“Mereka yang berada di kawasan taman nasional, ketergantungan mereka terhadap hutan lebih tinggi, apakah meramu apakah berburu,” sebutnya.

Dari ribuan Orang Rimba yang kini mendiami beberapa wilayah, sebutnya, hanya sedikit saja yang berkuliah. Ini disebutnya sebagai suatu fenomena besar yang perlu solusi bersama. Hutan semakin berkurang, namun populasi SAD terus meningkat.

“Dua atau tiga tahun lagi berapa? Sumber pangan terbatas,” kata dia.

Pada kegiatan itu, sempat dibuka penampilan Tari Bedeti dipimpin Nurbaeti alias Mak Nur dari Komunitas Orang Rimba. Juliana termasuk pula yang tampil. Mereka berputar-putar lengkap dengan selendang. Bedeti adalah tuturan yang berisi doa kepada Sang Pencipta yang disampaikan seorang dukun atau tetua, berdiri paling depan memimpin prosesi Tari Bedeti.

Mak Nur, tak ingat pasti kapan dia lahir. Namun, dia menyebut pada tahun 1971 usianya sudah 30 tahun, ketika itu dia menikah. Sepuluh tahun kemudian, suaminya meninggal dunia. Mak Nur kini memiliki 6 anak, terdiri 5 perempuan dan 1 lelaki. Dia menyebut usianya kini sudah sekira 80 tahun.

“Suami namanya Paampung, meninggal sakit sesak nafas. Dulu kami sering ambil jelena batang seperti rotan, harganya mahal atau cari rotan. Kami jual ke Cina (orang Cina), satu kilogram Rp700ribu, dulu paling seminggu dapat satu kilogram. Sekarang carinya susah kalau belum habis semua hutan-hutan itu, mudah,” kata Mak Nur yang cucunya kini menjadi anggota Polri ini (eka/aha)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)