Mengenang Rendra si “Burung Merak” di Komunitas Lima Gunung

Foto: Freddy Uwek/wartamagelang.com

Pembacaan puisi oleh Haris Kertorahardjo sekaligus peresmian patung “Rendra Menyetubuhi Zaman” di Museum Lima Gunung Studio Mendut, Minggu (7/11/2021).  Foto: Freddy Uwek/wartamagelang.com

Magelang (wartamagelang.com) –  Dr.H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. atau yang lebih dikenal dengan WS Rendra adalah seorang penyair, dramawan, aktor dan sutradara teater Indonesia. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak” ini, pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta yang nantinya pindah ke Depok pada tahun 1985 dan masih eksis sampai sekarang.

Minggu, 7 November 2021, berlokasi di Studio Mendut atau Museum Lima Gunung, digelar acara mengenang hari lahir WS Rendra. Acara ini juga bertepatan dengan peringatan ulang tahun WS Rendra yang lahir pada 7 November 1935 di Solo, sedang beliau sendiri telah berpulang pada 6 Agustus 2009 di Depok.

Acara dibuka dengan sekapur sirih dari budayawan Sutanto Mendut yang menceritakan WS Rendra ikut aktif dalam Festival Lima Gunung periode 2002 sd 2009.

“Saya merasa Rendra itu “sesuatu” yang luar biasa. Di luar negeri sastrawan itu sangat dihargai, bahkan dijadikan gambar mata uang. Dulu pena itu lebih tajam dari pedang, tetapi sekarang pena sedang tidak tajam-tajamnya. Karena pena itu cuma untuk membuat akun medsosnya rame, dan penggunaan akun untuk pelepasan kesepian sebagai lansia, seolah-olah berjuang tapi cuma kesepian,” kata Tanto.

Kita semua, tambah Tanto, sama-sama menikmati pena yang sudah tidak tajam tapi mengisi kekosongan penderitaan batin bangsa kita. Dan hari ini dari desa memperingati tajamnya pena Rendra yang makin lama makin dilupakan oleh Bangsa Indonesia.

Kemudian acara dilanjutkan dengan peresmian patung untuk Rendra yang dibuat oleh Ismanto, patung itu sendiri diberi nama “Rendra Menyetubuhi Zaman”. Patung yang berbentuk Lingga dan Yoni berempat penjuru mata angin itu kemudian diresmikan dengan pembacaan puisi karya Rendra oleh Haris Kertorahardjo yang berjudul “Khotbah” dan diiringi performance art oleh Ismanto dan Lyra de Blauw.

Haris Kertorahardjo, dalam pengantarnya bekata sempat ada pemikiran  tangggal lahir Rendra akan diperingati sebagai Hari Kebudayaan Nasional, tapi sampai sekarang semua teman-teman seniman belum berhasil memperjuangkan hal itu, padahal omongan, cerita dan pemikiran Rendra berpengaruh secara nasional.

“Saya oleh mas Willy disuruh nulis puisi, padahal saya orang eksak, maka matematika saya dipakai untuk menghitung perasaan, emosional dan kebijaksanaan, itu semua pendidikan menulis puisi yang diajarkan oleh mas Willy. apa yang ditangkap, ditulis, maka akan teringat terus, tinggal diolah kalimatnya,” kata Haris.

Acara diteruskan dengan sambutan oleh mas Gati dengan melantunkan tembang mocopat Maskumambang kesukaan Rendra, kemudian pembacaan puisi karya Rendra oleh Wicahyanti dan Keenan dengan judul “Gugur”. Disambung Novi dari Boyolali dengan “Nyanyian Adinda Untuk Saijah” dengan gaya teatrikalnya.

Nindito Nugroho menbacakan puisi Rendra yang lain yaitu “Tidak Ada Judul”. Kemudian Tentrem Lestari membacakan “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”. Joko Koentono membacakan “Surat Cinta”. Nicole Wulan membacakan “Sagu Ambon”. dan Ismanto dengan Lyra de Blauw membacakan “Kalangan Ronggeng”. Gus Anis dari Pati tidak membacakan puisi tapi berorasi budaya tentang Rendra.

Setelah itu ada sedikit pembacaan puisi yang agak “disrupsi’ (red.) buat penonton ketika ES Wibowo membacakan “Dhandang Gula Pujangga”, Gepeng Nugroho membacakan “Sajak Rajawali” dan Gus Kholil membacakan “Episode”. Mereka bertiga membacakan puisi Rendra itu secara bersamaan dan bersahut-sahutan sehingga menimbulkan “disrupsi pembacaan puisi”(red.) .

Munier Syalala menyanyikan musikalisasi puisi “Nyanyian Suto Untuk Fatima”. Dan keseluruhan acara hari itu ditutup dengan pembacaan satu-satunya karya puisi yang bukan ciptaan Rendra. Puisi itu berjudul “Sajak Mencintai Rendra” karya Eep Saefulloh Fatah yang dikarang 7 November 2021. Puisi itu dibacakan oleh budayawan Sutanto Mendut sendiri. (wq)

Foto: Freddy Uwek/wartamagelang.com

ES Wibowo membacakan “Dhandang Gula Pujangga”, Gepeng Nugroho membacakan “Sajak Rajawali” dan Gus Kholil membacakan “Episode” secara bersamaan. (7/11/2021). Foto: Freddy Uwek/wartamagelang.com

 

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)