Kilas Balik 191 Tahun Penangkapan Pangeran Diponegoro (2)

ILUSTRASI PERKEMAHAN : Ilustrasi perkemahan Pangeran Diponegoro dan pasukannya di Meteseh Kota Magelang (Dok Internet)

Akhir Perang Jawa: De Kock Menyiapkan Pesanggrahan untuk Diponegoro di Meteseh Magelang

KOTA MAGELANG (wartamagelang.com) Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock pada 28 Maret 1830 silam, menyisakan cerita sejarah lainnya. Sebelum dilakukan penangkapan, Jenderal De Kock telah mempersiapkan secara detail, bahkan menyiapkan pesanggrahan untuk Pangeran Diponegoro.

Koordinator komunitas KOTA TOEA MAGELANG, Bagus Priyana, Jumat (26/03/2021) mengatakan, dalam data sejarah yang ada, pada tanggal 21 Februari 1830 Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh dengan rombongan berjumlah 700 orang. Penduduk di Menoreh dan di sepanjang jalan yang dilewatinya tiada henti memberinya makanan dan buah-buahan sebagai tanda penghormatan.

“Bahkan para pembesar provinsi yang tidak pernah berpihak kepada Diponegoro selama peperangan juga mengiriminya makanan dan buah-buahan,” ungkap Bagus.

Bagus mengemukakan, selama di Menoreh, Diponegoro berinteraksi secara akrab dengan perwira-perwira Belanda anggota pasukan gerak cepat; tetapi ia tegas menolak bertemu dengan pejabat Jawa manapun yang bekerja untuk gubernemen maupun untuk kerajaan-kerajaan Jawa tengah-selatan.

“Selama di Menoreh pula Diponegoro menerima pengobatan dari seorang dokter tentara Belanda karena penyakit malaria yang dideritanya. Ia digambarkan menderita segala kekurangan selama hidup berbulan-bulan di hutan rimba Bagelen barat,” tutur Bagus.

Bagus memaparkan, saat di Menoreh ini pula, timbul kesalahpahaman yang kelak berakibat amat berat bagi Diponegoro dalam perundingannya dengan Jenderal De Kock di Magelang. Dalam komunikasi intensif dengan Cleerens selama Diponegoro tinggal di Menoreh, Diponegoro merasa bahwa Cleerens telah memberinya janji.

“Bahwa jika dalam perundingan dengan De Kock di Magelang nanti tidak diperoleh kesepakatan, maka Diponegoro akan dibiarkan kembali ke Bagelen untuk melanjutkan perlawanan tanpa dicederai,” sebutnya.

Bagus menyebutkan, dalam data sejarah yang ada, rombongan Diponegoro tinggal di Menoreh hingga 8 Maret 1830. Kemudian mereka bergerak ke Magelang. Kolonel Cleerens, kata Bagus, lalu mendesak komandan pasukan Belanda di Magelang, Kolonel F.D. Cochius, untuk mengirimkan beberapa ratus pasukan lagi guna memastikan bahwa Diponegoro dan pasukannya tidak akan bisa lolos.

Kemudian, kata Bagus, rombongan Diponegoro tiba di Kota Magelang pada tengah hari menjelang sore tanggal 8 Maret 1830. Rombongan itu berjumlah sekitar 800 orang, sebagaimana terbuktikan nantinya dari jumlah senjata yang dilucuti Mayor Michiels menyusul penangkapan Diponegoro, yakni 852 tombak, 87 bedil, dan sejumlah besar keris.

“Diponegoro menolak ajakan De Kock untuk berunding pada hari-hari setelah kedatangannya karena saat itu (mulai 25 Februari 1830) adalah bulan Ramadhan,” kata Bagus.

Untuk mencegah Diponegoro kembali ke Menoreh (guna menyepi dalam menjalankan puasa), De Kock membuatkan baginya dan rombongan sebuah pesanggrahan di wilayah Metesih, di sebelah barat-laut Magelang, di kawasan pinggiran Kali Progo.

Pesanggrahan itu amat besar, dibuat dari bambu dan dikerjakan oleh penduduk yang dipaksa oleh residen Kedu, F.G. Valck.

“Banyak penduduk Magelang terpaksa berpindah sementara untuk menghindari kerja rodi dalam pembuatan pesanggrahan itu,” imbuhnya.

Tanggal 10 Maret 1830 terjadi gerhana bulan total, yang oleh penduduk Magelang dimaknai sebagai pertanda buruk.

Kota Magelang dan wilayah Metesih menjadi semakin ramai dengan masuknya 800 orang rombongan Diponegoro. Setiap hari berdatangan ke sana untuk bertemu dengan Diponegoro para pejabat dari Yogya, pengrajin dan pegawai keraton, para pandai besi dan lain-lain. Termasuk di antara mereka adalah para bekas prajurit Diponegoro dari Pajang, Kedu dan Bagelen.

“Lima ekor kerbau disembelih setiap hari untuk memberi makan para pengikut Diponegoro,” pungkas Bagus Priyana (wq/aha)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)